
Kasus Ledakan di SMAN 72 Kelapa Gading: Perkembangan dan Pertanyaan yang Muncul
Kasus ledakan yang terjadi di SMAN 72 Kelapa Gading, Jakarta Utara, pada Jumat (7/11/2025) siang masih dalam proses penyelidikan. Pihak kepolisian telah mengamankan terduga pelaku yang diketahui merupakan salah satu siswa di sekolah tersebut. Sementara itu, kondisi para korban yang dirawat di beberapa rumah sakit terus dipantau secara ketat.
Perkembangan kasus ini memicu banyak pertanyaan, khususnya setelah muncul dugaan bahwa pelaku mungkin merupakan korban perundungan. Beberapa teman sekelas menyebut pelaku dikenal sebagai sosok pendiam dan tertutup, jarang berinteraksi dengan teman-temannya. Hal ini menimbulkan pertanyaan penting: apakah anak yang pendiam lebih rentan menjadi korban perundungan?
Orang yang Pendiam Tidak Selalu Rentan Jadi Korban Bullying
Praktisi parenting, Novita Tandry, menjelaskan bahwa tidak semua orang pendiam rentan menjadi korban perundungan. Banyak individu yang cenderung diam justru memiliki kemampuan observasi yang baik dan tahu kapan harus berbicara. Namun, ada pula yang pendiam karena kesulitan bersosialisasi, seperti tidak tahu cara memulai percakapan atau merasa canggung saat berada di lingkungan sosial.
Ketika kemampuan interpersonal tidak terlatih sejak dari rumah, anak bisa tumbuh menjadi socially awkward—canggung secara sosial atau tidak pandai bersosialisasi. Kondisi ini sering membuatnya dianggap tidak seru diajak bicara, tidak nyambung, atau terlalu tertutup oleh teman-temannya.
Akibatnya, anak tersebut makin terisolasi dan enggan mencari pertolongan, baik kepada guru maupun orang tua, karena takut justru dilaporkan dan makin di-bully.
Emosi yang Terus Dipendam Bisa Berubah Menjadi Dendam
Emosi yang terus dipendam—seperti marah, malu, dan sakit hati—lama-kelamaan dapat berubah menjadi dendam. Dalam teori psikologi, kondisi ini dikenal dengan frustration-aggression hypothesis, yaitu ketika rasa frustrasi yang berulang memicu munculnya perilaku agresif sebagai bentuk pelampiasan.
“Anak pendiam tidak selalu mudah menjadi korban bullying. Ada yang memang pendiam karena suka mengamati dan tahu kapan harus berbicara. Namun, kalau anak tidak terlatih kemampuan interpersonalnya sejak dari rumah, ia bisa tumbuh menjadi socially awkward—canggung secara sosial. Lama-kelamaan, ia bisa terisolasi, merasa tidak diterima, dan memendam emosi seperti marah, malu, atau sakit hati. Jika terus dibiarkan, rasa frustrasi itu bisa berubah menjadi perilaku agresif sebagai bentuk pelampiasan,” ujar Novita.
Korban Bisa Jadi Pelaku Akibat Emosi yang Tidak Tersalurkan
Pertanyaan mengenai apakah korban perundungan bisa berubah menjadi pelaku memang sering muncul. Namun, faktanya tidak selalu begitu, kata Novita. Ia menjelaskan, pada umumnya, korban perundungan lebih cenderung melukai diri sendiri atau bahkan memiliki pikiran untuk mengakhiri hidupnya, bukan menyakiti orang lain. Namun, ketika rasa sakit hati dan harga diri yang terluka menumpuk dalam waktu lama, tindakan ekstrem bisa muncul sebagai bentuk pelampiasan emosi yang tidak tersalurkan.
“Biasanya korban bullying itu lebih cenderung melukai diri sendiri atau malah mengakhiri hidupnya. Tapi kalau sampai terjadi tindakan ekstrem, mungkin karena rasa sakit hati dan harga diri yang sudah terlukai sedemikian rupa, sampai tidak merasa berharga lagi,” kata Novita.
Lebih lanjut, psikolog itu menjelaskan bahwa korban perundungan yang mengalami tekanan terus-menerus bisa merasa tidak berdaya untuk mengubah keadaan. Ia hanya menjalani hari-harinya tanpa semangat, seperti kehilangan kendali atas hidupnya.
“Ia merasa helpless, datang ke sekolah seperti ‘robot’—hanya menjalani rutinitas tanpa menikmati apa pun. Dalam psikologi itu disebut learned helplessness, ketika seseorang merasa apa pun yang dilakukan tidak akan mengubah keadaan.”
Anak yang Pendiam Bukan Selalu Korban Perundungan
Anak yang pendiam belum tentu menjadi korban perundungan. Kepribadian yang tenang dan tidak banyak bicara tidak selalu menandakan kerentanan, melainkan bisa menjadi bentuk kenyamanan dalam mengamati dan memahami lingkungan sebelum berinteraksi.
Hal terpenting adalah bagaimana orang tua dan lingkungan sekolah membantu anak mengembangkan kemampuan sosialnya tanpa memaksanya untuk berubah menjadi pribadi yang berbeda. Dengan dukungan dan komunikasi yang terbuka, anak, baik yang pendiam maupun yang lebih ekspresif, dapat tumbuh percaya diri, mampu mengekspresikan diri, serta membangun hubungan sosial yang sehat.


















































