
Ruang Refleksi di Krapela
Pada sore hari, langit Jakarta mulai gelap dan awan gelap menggantung di sekitar. Banyak orang memasuki Krapela yang terletak di bilangan Blok M. Dengan dengungan musik latar, obrolan ringan mengalir, namun di baliknya ada kegelisahan yang sama: tentang hidup, kerja, dan masa depan.
Pada hari Minggu (2/11/2025), Krapela berubah menjadi ruang refleksi melalui acara After Hours Club x Krapela. Acara ini merupakan forum yang mempertemukan jurnalis, aktivis, dan musisi dalam satu panggung.
Tidak seperti diskusi formal di aula universitas, acara ini terasa intim dan jujur. Kursi-kursi disusun rapat dan lampu temaram memberikan suasana akrab. Di panggung, moderator Agustina Purwanti membuka sesi pertama dengan tema “Problematika Generasi Cemas” dengan satu pertanyaan yang menohok, “Apa kabar, generasi cemas?”.
Pertanyaan itu segera menemukan jawabannya dalam kisah-kisah nyata. Satrio Wisanggeni, jurnalis Desk Investigasi Harian Kompas, menggambarkan wajah generasi muda hari ini yang dihadapkan pada realitas pahit: sulit mencari kerja, sulit punya rumah, dan lebih mudah jatuh miskin ketimbang naik kelas ekonomi.
“Celakanya, keterdesakan itu dimanfaatkan banyak penipu. Dari sindikat loker palsu sampai scammer tiket konser,” katanya.
Keresahan yang sama disambung oleh Violla Reininda dari Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK). Ia membawa perspektif lebih luas, yakni persoalan bukan hanya ekonomi, tapi juga ruang sipil yang kian menyempit.
“Corak kekuasaan kita makin militeristik. Generasi muda mudah dikriminalisasi saat bersuara. Padahal mereka seharusnya menjadi penyeimbang pemerintah,” ujar Violla.
Diskusi semakin hidup ketika Efraim Leonard dari Bijak Memantau mengajak peserta untuk mengubah rasa cemas menjadi aksi. “Kelas menengah harus bergerak,” sebutnya mantap. Ia menyebut tiga kunci, yaitu ideologi, solidaritas, dan organisasi. “Gunakan privilege-mu untuk hal kolektif. Jangan berhenti di obrolan kritis, buat perubahan nyata.”
Sore menjelang malam, ruangan terasa padat oleh energi. Cemas memang nyata, tapi tak lagi terasa pasif. Dari ruang kecil di bilangan Jakarta ini, keresahan justru menjadi bahan bakar semangat baru.
Musik sebagai Bahasa Keresahan
Diskusi kedua bergulir dalam nada yang berbeda tapi seirama. Dengan tema “Mengusik lewat Musik”, moderator Sarie Febriane membuka dengan kalimat sederhana, “Musik bukan sekadar hiburan, tapi cermin zaman.”
Herlambang Jaluardi, jurnalis Desk Budaya Kompas, mengingatkan, musik sering kali mengguncang kekuasaan. “Setiap rezim punya masalah dengan musik,” katanya sambil tersenyum. “Karena musik bisa menyuarakan yang tak bisa diucapkan.”
Di panggung yang sama, Ananda Badudu dari Banda Neira berbagi perjalanan kreatifnya yang berawal dari dunia jurnalistik. “Musik jadi entitas hidup ketika diceburkan ke lingkungan sosial,” ungkapnya pelan.
Ananda mengisahkan keputusannya mundur dari Pestapora 2025 setelah mengetahui salah satu sponsor acara berasal dari perusahaan tambang besar. “Sekarang, musisi dituntut punya sikap moral. Dan bagi saya, itu bukan beban, tapi panggilan.”
Pengalaman pribadinya pun tak luput dari perbincangan, termasuk peristiwa penangkapan tahun 2019 yang justru melahirkan lagu Ajariku Jadi Berani. “Dari situ saya belajar, keresahan bisa berubah jadi energi kreatif,” katanya.
Sebagai tuan rumah, Januar Kristianto, pendiri Krapela, menutup sesi dengan cerita tentang tempat yang ia bangun. “Krapela itu seperti kanvas kosong,” katanya. “Live house iya, event space iya, club juga iya. It is everything you need it to be.”
Bagi Januar, keberanian untuk menjadi “tempat yang mengusik” justru esensi Krapela. “Kami tahu risikonya,” katanya jujur. “Tapi kami percaya, selama ekspresi itu sehat dan jujur, ia pantas difasilitasi.” Keputusan Krapela memfasilitasi musisi-musisi yang mundur dari Pestapora menjadi salah satu bukti nyata komitmen itu.
Menjelang malam, panggung berganti wajah. Banda Neira naik dengan petikan gitar lembut dan harmoni vokal yang menenangkan. Tembang di antaranya Ajariku Jadi Berani, Tini dan Yanti, dan Tak Apa Akui Lelah mengalun, menciptakan ruang sunyi yang hangat. Ruang tatkala keresahan, cinta, dan harapan berbaur, berkelindan. Terlebih saat hits Sampai Jadi Debu dibawakan, pengunjung pun menjadi paduan suara.
Dalam senandung itu, seolah terjawab semua pertanyaan sore tadi bahwa generasi cemas bukan sekadar generasi yang takut, melainkan generasi yang sadar, kritis, dan berani mencari makna.
After Hours Club malam itu bukan sekadar diskusi dan musik. Ia adalah refleksi, tentang bagaimana keresahan bisa menjadi titik awal perubahan, dan bagaimana keberanian bisa lahir dari ruang-ruang kecil yang memilih untuk tidak diam.




















































