
Sejarah dan Perkembangan Opor Ayam di Solo
Opor ayam adalah hidangan yang sangat populer di Indonesia, terutama saat Hari Raya Idul Fitri. Hidangan berkuah santan ini menjadi bagian tak terpisahkan dari tradisi Lebaran, khususnya di daerah Jawa Tengah seperti Solo. Bagi masyarakat Muslim, sajian opor ayam bersama ketupat atau lontong tidak akan lengkap tanpa hidangan ini.
Namun, di balik rasanya yang lezat, opor ayam memiliki sejarah panjang yang menarik. Pada dasarnya, opor ayam merupakan hasil akulturasi budaya antara India, Arab, dan Jawa yang telah berlangsung selama berabad-abad.
Asal Usul dan Jejak Akulturasi Budaya
Meskipun belum ada bukti sejarah pasti mengenai asal-usul opor ayam, beberapa sejarawan kuliner menyebutkan bahwa hidangan ini berasal dari perpaduan antara pengaruh budaya India dan Arab dengan tradisi lokal Nusantara. Pengaruh tersebut masuk ke Nusantara seiring dengan penyebaran agama Islam pada abad ke-15 hingga 16.
Masyarakat Muslim India dikenal gemar memasak daging dengan bumbu rempah dan yoghurt, menghasilkan hidangan seperti kari dan qorma (korma). Sementara di Arab, dikenal sajian gulai yang juga kaya rempah dan dimasak dengan santan. Ketika pengaruh tersebut sampai ke pesisir Sumatera dan Jawa, masyarakat lokal menyesuaikan cita rasa dengan bahan-bahan yang tersedia.
Rempah-rempah kuat khas India dan Arab diolah lebih ringan, diganti dengan santan agar rasanya lebih gurih dan lembut di lidah masyarakat Jawa. Dari sinilah lahir hidangan yang kita kenal kini sebagai opor ayam.
Opor Ayam: Dari Qorma hingga Gula
Istilah “opor” kemungkinan besar berasal dari adaptasi kata “qorma” dalam bahasa Urdu, yang berarti memasak daging dengan susu atau yoghurt. Di Indonesia, bahan tersebut diganti dengan santan kelapa, bahan lokal yang melimpah di Nusantara.
Seiring waktu, pengaruh kuliner India tampak dari warna kuning opor ayam yang berasal dari kunyit, sementara sentuhan kuliner Tionghoa terlihat dari versi opor putih, yang tidak menggunakan kunyit sehingga kuahnya berwarna pucat. Opor putih ini bahkan menjadi bagian dari tradisi Cap Go Meh di kalangan masyarakat Jawa-Tionghoa.
Bumbu dan Cita Rasa yang Lebih Sederhana
Jika dibandingkan dengan kari India atau gulai Sumatera, bumbu opor ayam tergolong sederhana. Bumbu dasar opor terdiri dari bawang merah, bawang putih, kemiri, ketumbar, merica, jahe, jintan, dan adas. Semua bumbu dihaluskan, ditumis sebentar, lalu disiram dengan santan. Hasilnya adalah kuah gurih beraroma lembut yang khas dan tidak menyengat.
Perkembangan resep juga membuat opor ayam terbagi menjadi dua jenis utama: opor kuning (dengan kunyit) dan opor putih (tanpa kunyit). Awalnya, daging yang digunakan bisa berupa sapi, kambing, atau bebek. Namun, karena faktor harga dan selera masyarakat, akhirnya daging ayam menjadi pilihan utama yang paling populer.
Ciri Khas Opor Solo: Ada Bubuk Kedelainya
Di tanah Jawa, khususnya Kota Solo, opor ayam memiliki bentuk khas yang disebut lontong opor bubuk del. Hidangan ini terdiri dari potongan lontong yang disiram kuah opor ayam kampung, dilengkapi sambal goreng kerni (daging sapi atau ayam cincang berbentuk bulatan kecil), serta taburan bubuk kedelai putih (dele) di atasnya.
Taburan bubuk kedelai inilah yang menjadi ciri khas opor Solo. Rasanya gurih dan menambah kekentalan kuah. Tak jarang, sajian ini juga dilengkapi telur pindang sebagai pelengkap, menjadikannya hidangan yang istimewa dan khas saat Lebaran di daerah tersebut.
Hidangan Pendamping Tradisional
Opor ayam tidak pernah hadir sendirian di meja makan Lebaran. Ada beberapa hidangan pendamping yang sudah menjadi tradisi turun-temurun, di antaranya:
- Ketupat, simbol “mengaku lepat” (mengaku salah) dalam budaya Jawa yang dipopulerkan oleh Sunan Kalijaga, menjadi pelengkap utama opor ayam.
- Rendang, kuliner khas Minangkabau, menjadi pelengkap dengan cita rasa daging yang kaya rempah.
- Sambal goreng kentang ati, dengan rasa pedas gurihnya, menjadi teman yang sempurna untuk melengkapi sajian ketupat dan opor ayam.























































