Nasional Opini: Detik-Detik Berbahaya Energi dari Sampah

Opini: Detik-Detik Berbahaya Energi dari Sampah

33
0

Masalah Persampahan di Indonesia

Di tengah berbagai diskusi mengenai praktik pengolahan sampah, solusi atas masalah persampahan seringkali menimbulkan frustrasi karena kompleksitas yang harus melibatkan banyak pihak. Di lapangan, solusi jangka pendek sering kali lebih diprioritaskan daripada pendekatan sistemik dan terstruktur.

Penumpukan sampah yang terjadi di berbagai tempat adalah akumulasi dari ketidakmampuan pemerintah dan pihak-pihak terkait untuk berpikir secara sistemik dan sistematis. Meskipun ada pemikiran yang baik, aksi untuk merealisasikannya seringkali tidak terasa signifikan.

Banyak wacana telah muncul tentang bagaimana mengolah berbagai jenis sampah menjadi produk bernilai sosial dan ekonomi. Banyak teknologi juga ditawarkan untuk memilah, mencacah, dan mengolah sampah menjadi RDF (Refuse Derived Fuel) atau keripik sampah, yaitu sampah yang dicacah dan dikeringkan yang dapat digunakan sebagai bahan bakar alternatif pengganti minyak bumi oleh industri seperti semen.

Inisiatif dari para pegiat persampahan juga sudah banyak dilakukan, tetapi sampah tetap menumpuk di sudut-sudut kota. Analisis pun menyimpulkan bahwa masalah sampah adalah masalah tata kelola yang amburadul, tidak dipikirkan secara matang dengan rancangan yang komprehensif, sistemik, dan terkendali.

Masih belum jelas siapa yang bertanggung jawab atas sampah di area mana. Pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten/kota seakan saling melempar tanggung jawab. Rancangan penataan wewenang yang jelas juga belum terlihat, apakah pemerintah atau swasta yang harus mengelola sampah secara profesional.

Tingkat Daur Ulang yang Masih Rendah

Masalah yang lebih serius adalah tingkat penyerapan, pengolahan, dan pemulihan sampah (sebagai sumber daya) masih jauh lebih kecil dibandingkan tingkat produksi sampah sehari-hari dari rumah tangga, industri, hingga fasilitas publik. Tingkat daur ulang sampah di Indonesia masih sangat rendah.

Menurut data KLH-BPLH pada 2025, tingkat daur ulang sampah baru mencapai 22%. Walaupun daur ulang bukan satu-satunya indikator penting dalam pemulihan sumber daya dari sampah, indikator tersebut cukup menggambarkan bahwa solusi atas permasalahan sampah saat ini masih belum terfokus pada pemulihan sumber daya dari sampah.

Meski meningkatkan tingkat daur ulang tidak mudah, negara-negara dengan kinerja pengolahan sampah terbaik seperti Austria dan Wales hanya mampu mencapai tingkat daur ulang sebesar 59% (Eunomia, 2024). Namun, upaya untuk memulihkan sumber daya dari sampah tetap harus dilakukan agar bisa mendukung solusi yang paripurna dan berkelanjutan.

Solusi Waste-to-Energy dan Keterbatasannya

Alih-alih menggunakan paradigma pemulihan sumber daya, sebagian pihak termasuk masyarakat justru berupaya menghilangkan sampah dari pandangan mata dengan cara mengubur atau membakar sampah di sekitar pemukiman. Pembakaran sampah dilakukan dengan berbagai metode, mulai dari sederhana hingga menggunakan teknologi untuk mengubah sampah yang dibakar menjadi energi listrik, seperti pembangkit listrik tenaga sampah (PLTSa).

Proyek waste-to-energy di Indonesia telah disetujui pemerintah dengan pendanaan dari Danantara, yang direncanakan mampu mengonversi sampah hingga 1.000 ton per hari di 10 titik terpilih. Meski terdengar sederhana, solusi ini bukanlah solusi pemulihan sumber daya yang berkelanjutan.

Waste-to-energy hanya memulihkan energi yang digunakan oleh produsen untuk menghasilkan produk yang kemudian menjadi sampah, bukan menjadikan sampah sebagai sumber daya yang bisa kembali menjadi bahan baku untuk produksi. Selain itu, optimalisasi kapasitas operasional fasilitas waste-to-energy tidak mudah. Contohnya, PLTSa Putri Cempo Mojosongo di Surakarta hanya mampu memanfaatkan 20% dari kapasitas harian.

Jika semua sampah bisa diolah sebagai bagian dari waste-to-energy conversion, pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana distribusi listrik yang dihasilkan. Faktanya, Indonesia mengalami kelebihan pasokan listrik hingga 329 gigawatt jam (GWh) antara 2015—2024. Kondisi ini diperkirakan akan semakin buruk pada 2025—2034.

Paradigma Ekonomi Sirkular sebagai Solusi Jangka Panjang

Solusi jangka panjang yang lebih berkelanjutan adalah mengubah paradigma “ambil, pakai, buang” menjadi paradigma ekonomi sirkular. Pemerintah melalui Kementerian PPN/Bappenas sudah membuat Peta Jalan dan Rencana Aksi Nasional Ekonomi Sirkular Indonesia 2025—2045.

Namun, implementasinya masih bersifat parsial dan belum diorkestrasi dengan baik. Ke depan, perlu lebih banyak melibatkan produsen dalam diskusi pengelolaan sampah dan pemerintah perlu membuat aturan untuk memastikan kontribusi mereka dalam pengelolaan sampah, terutama pemulihan sumber daya dari sampah melalui payung extended producer responsibility.

Selain itu, edukasi konsumen secara luas diperlukan agar terjadi perubahan perilaku yang mendukung pola konsumsi berkelanjutan. Extended consumer responsibility juga perlu digalakkan. Terakhir, alih-alih memproduksi energi dari sampah, bauran energi kita harus diubah dengan meningkatkan proporsi energi terbarukan yang saat ini baru mencapai 34% (Shalati dan Maqoma, 2025). Pembangkit listrik tenaga surya, angin, panas bumi, dsb. dapat dikembangkan lebih lanjut untuk menggantikan pembangkit listrik berbahan bakar fosil yang tidak ramah lingkungan.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini