Nasional Opini: Kurikulum Cinta dari Rumah – Gema Gong Belajar dan Kelahiran Sekolah...

Opini: Kurikulum Cinta dari Rumah – Gema Gong Belajar dan Kelahiran Sekolah Kehidupan

31
0

Membangun Kembali Budaya Belajar dari Rumah

“Non scholae sed vitae discimus” — Kita belajar bukan untuk sekolah, tetapi untuk hidup

(Lucius Annaeus Seneca)

Dalam suasana sederhana di rumah-rumah NTT, tercipta sebuah momen yang penuh makna. Pukul 17.30, matahari condong ke barat. Seorang ayah menutup laptopnya, menaruh ponsel di meja, lalu memanggil anaknya dengan lembut, “Mari kita belajar, Nak.” Ibu datang membawa secangkir teh dan duduk di samping mereka. Tak ada notifikasi, tak ada televisi, hanya tawa kecil, pertanyaan polos, dan percakapan hangat.

Waktu seakan melambat, memberi ruang bagi sesuatu yang lebih dalam daripada sekadar belajar: kedekatan emosional. Dalam suasana seperti itu, anak merasa aman untuk bertanya dan mencoba; orang tua merasa berarti karena hadir sepenuhnya. Menjelang pukul 19.00, aroma makan malam perlahan memenuhi ruang. Mereka menutup buku dan saling menatap dalam keheningan hangat—sebuah keterikatan batin yang oleh psikolog disebut emotional attunement, hati yang berdetak dalam irama yang sama.

Lalu tibalah Sabtu, hari rekreasi keluarga. Mereka pergi ke pantai, menatap laut dengan rasa syukur. Di antara tawa dan canda, orang tua menyadari satu hal: Gong Belajar bukan sekadar program, tetapi irama kasih yang menyatukan keluarga—memulihkan kehangatan yang sempat hilang di tengah kesibukan dunia digital.

Budaya Belajar dari Rumah

Gagasan Gubernur NTT, Melki Laka Lena, untuk menghidupkan kembali Gong Belajar merupakan langkah strategis yang menyentuh jantung kehidupan sosial kita. Melalui Peraturan Gubernur tentang Jam Belajar di Rumah bersama Orang Tua, anak-anak NTT diajak belajar secara serentak setiap sore, sementara Sabtu ditetapkan sebagai hari kebersamaan keluarga.

Tujuannya bukan sekadar mengatur waktu belajar, tetapi menumbuhkan kembali budaya baca, tulis, dan hitung dari rumah—seraya menghidupkan peran keluarga sebagai tiang utama pendidikan. Sebab rumah bukan sekadar tempat tinggal, melainkan ruang pertumbuhan kasih, disiplin, dan karakter. Kita ingat kata Plutarch: “The mind is not a vessel to be filled, but a fire to be kindled.” Pikiran bukan bejana yang diisi, melainkan api yang harus dinyalakan.

Itulah esensi Gong Belajar—bukan untuk memenuhi kepala anak dengan hafalan, tetapi menyalakan api rasa ingin tahu dan semangat belajar yang lahir dari rumah. Ketika orang tua duduk bersama anaknya membaca, menulis, atau sekadar berbincang tentang pelajaran hari itu, mereka sedang menulis bab kecil dari peradaban kasih yang tumbuh dari meja belajar sederhana di ruang keluarga.

Jika dijalankan dengan sepenuh hati, Gong Belajar akan menjadi gerakan sosial yang memulihkan martabat keluarga NTT sebagai pusat peradaban kasih dan ilmu—tempat di mana karakter ditempa, dan cinta menjadi metode belajar paling ampuh.

Rumah sebagai Sekolah Pertama

Dalam perspektif klasik, keluarga disebut ecclesia domestica—gereja kecil tempat iman, kasih, dan nilai hidup pertama kali diajarkan. Rumah adalah sekolah pertama dan utama di mana anak belajar menjadi manusia. Di rumah, anak mengenal kata pertama, doa pertama, dan nilai pertama tentang kebaikan.

Di sanalah karakter dibentuk bukan lewat teori, melainkan teladan dan kehadiran. Ketika seorang ayah membaca buku bersama anaknya, atau seorang ibu menjelaskan arti syukur sebelum makan malam, di situlah pendidikan karakter sejati berlangsung. Gong Belajar menegaskan tanggung jawab pendidikan tidak hanya di pundak guru atau pemerintah, tetapi juga di hati setiap orang tua.

Di era ketika teknologi sering menggantikan interaksi manusia, Gong Belajar menjadi gerakan spiritual pendidikan yang menghidupkan kembali sentuhan manusiawi dalam proses belajar. Rumah adalah laboratorium kasih, tempat setiap tawa, teguran, dan doa menjadi bahan baku pembentukan karakter. Ketika rumah hidup dalam semangat Gong Belajar, masyarakat pun akan hidup dalam budaya cinta belajar.

Menghidupkan Gong Belajar Secara Nyata

Agar Gong Belajar tidak berhenti pada simbol atau kebijakan, setiap pihak perlu mengambil peran nyata. Pemerintah daerah dapat memfasilitasi pendampingan bagi orang tua melalui pelatihan sederhana—bagaimana mendampingi anak belajar dengan sabar dan menyenangkan. Sekolah dapat menyesuaikan tugas harian agar sejalan dengan waktu belajar keluarga, sementara lembaga keagamaan bisa mengisi sesi pembinaan keluarga tentang nilai-nilai kasih dalam pendidikan.

Media lokal pun berperan penting: menyiarkan kisah inspiratif keluarga yang konsisten menjalankan Gong Belajar, sehingga muncul efek domino sosial. Dan bagi setiap keluarga, langkah kecil seperti mematikan televisi, menyimpan gawai, lalu hadir penuh selama 90 menit bersama anak, adalah bentuk nyata dari cinta yang mendidik.

Ketika kebiasaan kecil ini dilakukan serentak, ia akan membentuk gerakan budaya belajar dari rumah—gerakan yang perlahan tapi pasti menumbuhkan kembali karakter, kedisiplinan, dan kasih di setiap keluarga NTT.

Seirama Kurikulum Cinta

Program ini seirama dengan gagasan Kementerian Agama Republik Indonesia tentang Kurikulum Cinta—pendekatan pendidikan yang menanamkan nilai kasih sayang, empati, dan toleransi di semua jenjang pendidikan keagamaan. Kurikulum ini menekankan lima pilar (Pancacinta) utama. Pertama, Cinta kepada Allah, melalui penghayatan iman dan kasih dalam kehidupan sehari-hari. Kedua, cinta kepada diri dan sesama, dengan menumbuhkan empati dan penghargaan terhadap martabat setiap orang. Ketiga, cinta kepada ilmu pengetahuan, menjadikan belajar sebagai ekspresi cinta dan pencarian makna hidup. Keempat, cinta kepada lingkungan, menumbuhkan tanggung jawab terhadap bumi dan sesama ciptaan. Kelima, cinta kepada tanah air, membangun rasa syukur dan bangga sebagai warga bangsa.

Sinergi antara Gong Belajar dan Kurikulum Cinta menghadirkan wajah pendidikan yang humanis dan spiritual. Jika Gong Belajar menata waktu dan disiplin belajar, maka Kurikulum Cinta memberi arah moral dan ruh kasih dalam proses itu. Dari ruang keluarga yang penuh kehangatan, nilai-nilai cinta, doa, dan kebersamaan akan menetes ke ruang kelas, komunitas, hingga ruang publik.

“Pendidikan adalah tindakan cinta, dan karena itu, tindakan keberanian.”

(Paulo Freire).

NTT dapat menjadi model provinsi yang tidak hanya berorientasi pada capaian akademik, tetapi juga pada pembentukan manusia seutuhnya: cerdas, beriman, dan berkarakter kasih. Keberhasilan Gong Belajar bergantung pada komitmen kolektif semua pihak—orang tua, guru, tokoh agama, media, dan pemerintah. Sekolah perlu mendukung dengan inovasi pembelajaran; lembaga keagamaan menguatkan nilai spiritualnya; dan media lokal menyalakan semangat positif agar program ini menjadi gerakan kultural, bukan sekadar administratif.

Pada akhirnya, Gong Belajar adalah panggilan untuk kembali ke rumah — bukan hanya secara fisik, tetapi batin. Rumah sebagai tempat bertumbuhnya cinta, doa, dan ilmu. Ketika gong itu berbunyi di setiap rumah NTT, biarlah ia menjadi tanda bahwa kasih dan pengetahuan telah kembali berdialog—bahwa kita sedang menulis bab baru dalam sejarah pendidikan yang berakar pada kasih dan kebersamaan.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini