
Kehancuran Timnas Indonesia di Kualifikasi Piala Dunia 2026
Timnas Indonesia kembali menghadapi kegagalan besar dalam babak kualifikasi Piala Dunia 2026. Setelah kalah dari Arab Saudi dan Irak, Garuda terjebak di dasar klasemen Grup B dan harus menerima kenyataan bahwa mereka tidak akan tampil di ajang sepak bola terbesar dunia itu.
Dua kekalahan tersebut memastikan Indonesia tersingkir dari persaingan untuk mendapatkan tiket otomatis ke Piala Dunia. Hanya Arab Saudi dan Irak yang masih memiliki peluang untuk melaju ke putaran final. Siapa pun yang menang dalam pertemuan terakhir akan langsung lolos, sedangkan yang kalah harus berjuang lagi di ronde kelima melawan runner-up dari Grup A.
Kegagalan ini membuat publik sepak bola Tanah Air kembali mengingat ucapan Shin Tae-yong beberapa bulan lalu. Dalam sebuah podcast bersama penerjemahnya, Jeong Seok Seo alias Jeje, pelatih asal Korea Selatan itu telah memperingatkan betapa beratnya persaingan di ronde keempat.
Pada Agustus lalu, Shin menyebut bahwa peluang Indonesia lolos dari ronde keempat hanya sekitar 30 persen. Menurutnya, pernyataan itu bukan untuk merendahkan tim, melainkan penilaian objektif dari sudut pandang seorang pelatih.
“Kalau boleh jujur, peluangnya enggak sampai 30 persen. Mungkin penggemar Indonesia gak setuju sama pendapat saya, tapi saya cuma menilai secara realistis,” ujar Shin saat itu.
Shin juga sudah memiliki rencana matang untuk membawa Indonesia lolos sejak ronde ketiga. Ia menargetkan finis sebagai runner-up di grup agar tak perlu menghadapi jadwal superpadat dan lawan berat di ronde keempat. Kunci utama strateginya adalah mengalahkan Australia pada Maret lalu. Menurut Shin, kemenangan atas tim kuat itu akan membuka jalan lebar bagi Indonesia untuk finis di posisi kedua dan langsung mengamankan tiket otomatis.
“Jika kami bisa mengalahkan Australia, kami bisa finis kedua. Selain Jepang, kami yakin bisa mengalahkan siapa pun,” ujarnya dengan nada optimistis.
Sayangnya, rencana itu tidak berjalan sesuai harapan. Sebelum laga krusial melawan Australia, Shin Tae-yong justru dipecat dan posisinya digantikan Patrick Kluivert, mantan striker timnas Belanda. Pergantian pelatih di tengah jalan membuat stabilitas tim terganggu. Pola permainan berubah, dan para pemain tampak kesulitan beradaptasi dengan pendekatan baru Kluivert yang lebih menyerang namun kurang disiplin secara taktik.
Shin sejak awal ingin menghindari ronde keempat karena tahu betapa beratnya situasi yang akan dihadapi Indonesia. Selain jadwal yang padat, ia juga menyoroti keunggulan besar yang dimiliki tuan rumah seperti Arab Saudi dan Qatar. Menurut Shin, tim-tim tersebut diuntungkan karena pemain mereka mayoritas bermain di liga lokal. Mereka bisa mempersiapkan diri lebih lama dan memanggil pemain lebih awal, bahkan 7–10 hari sebelum pertandingan.
“Arab dan Qatar gak punya pemain dari luar negeri. Mereka bisa ngatur liga biar pemain timnasnya siap lebih cepat,” ungkapnya saat itu.
Kondisi itu berbanding terbalik dengan Indonesia yang banyak mengandalkan pemain diaspora. Sebagian besar bermain di Eropa dan baru bisa bergabung dengan timnas dua hari sebelum laga, tanpa waktu cukup untuk pemulihan maupun latihan bersama.
“Pemain abroad baru terbang ke Arab Saudi dan harus tanding dua hari berikutnya. Mereka gak punya waktu untuk pulihkan stamina, jadi kami rugi dari segi kebugaran,” jelas Shin.
Prediksi tersebut kini terbukti. Indonesia kalah dari tim yang lebih segar dan lebih siap secara taktik maupun fisik, membuat peluang lolos ke Piala Dunia pupus di tangan sendiri. Banyak yang menilai, andai Shin tetap memimpin tim, hasilnya mungkin akan berbeda. Ia sudah memahami karakter pemain dan punya rencana taktis jangka panjang untuk menghadapi jadwal ketat.
Namun kini nasi sudah menjadi bubur. Indonesia harus menerima kenyataan tersingkir dan mulai memikirkan langkah baru menuju Piala Dunia berikutnya. Momentum ini juga menjadi pelajaran berharga bagi federasi sepak bola nasional. Kestabilan pelatih dan perencanaan jangka panjang terbukti lebih penting daripada keputusan emosional jangka pendek.
Ramalan Shin Tae-yong bukan sekadar prediksi kosong. Ia menunjukkan pemahaman mendalam tentang dinamika sepak bola Asia, di mana detail kecil seperti waktu istirahat dan kesiapan liga lokal bisa menentukan nasib di level tertinggi. Kini, publik hanya bisa menatap ke depan sambil mengingat peringatan pelatih yang pernah mengubah wajah sepak bola Indonesia itu. Sebuah ramalan yang dulu dianggap pesimis, kini menjadi kenyataan pahit di lapangan hijau.






















































