
Memahami Fenomena Duck Syndrome di Kalangan Mahasiswa
Di tengah lingkungan kampus yang penuh dengan tuntutan akademik dan keberhasilan, banyak mahasiswa mengalami kondisi yang dikenal sebagai duck syndrome. Fenomena ini terjadi ketika seseorang tampak tenang dan stabil dari luar, seperti bebek yang berenang tenang di permukaan air, tetapi di bawah permukaan, kaki mereka bergerak cepat dan panik untuk tetap mengapung.
Dalam dunia perkuliahan, tekanan tidak hanya datang dari tugas akademik, tetapi juga dari harapan untuk selalu produktif, aktif dalam organisasi, menjalani magang, atau ikut kompetisi. Selain itu, menjaga citra di media sosial juga menjadi salah satu beban tambahan. Akibatnya, banyak mahasiswa merasa lelah secara emosional, namun cenderung menyembunyikannya di balik senyum dan kesuksesan semu.
Tanda-Tanda dan Dampak Negatif Duck Syndrome
Mahasiswa yang terkena duck syndrome sering menunjukkan tanda-tanda seperti rendahnya rasa percaya diri dan kecenderungan membandingkan diri dengan orang lain. Mereka takut dinilai gagal, sehingga cenderung menyembunyikan kesulitan yang sebenarnya sangat membutuhkan perhatian dan dukungan.
Jika tidak segera diatasi, duck syndrome bisa memicu gejala psikologis yang lebih serius, seperti kecemasan berlebihan, burnout, hingga depresi. Kondisi ini sangat berbahaya jika dibiarkan terus-menerus tanpa mencari jalan keluar.
Media sosial turut memperparah masalah ini. Banyak mahasiswa melihat unggahan teman-teman mereka yang terlihat selalu bahagia dan sukses, padahal di baliknya mungkin ada perjuangan yang tidak terlihat. Fokus pada pencapaian eksternal membuat mereka merasa tertinggal dan terus berusaha mengejar standar yang tidak realistis.
Akibatnya, banyak mahasiswa mulai menarik diri secara sosial karena merasa tidak cukup “baik” atau kuat jika harus terbuka tentang perjuangannya. Padahal, yang mereka butuhkan bukanlah kritik, melainkan ruang untuk didengar dan diterima apa adanya.
Cara Mengatasi Duck Syndrome
Untuk mengatasi kondisi ini, langkah penting pertama adalah jujur pada diri sendiri. Merasa lelah bukanlah kelemahan, melainkan tanda bahwa tubuh dan pikiran membutuhkan perhatian lebih. Seperti yang disampaikan oleh psikolog FEB UGM, Anisa Yuliandri, “It’s okay to not be okay.” Tidak semua orang harus selalu produktif atau terlihat bahagia.
Selain itu, mahasiswa perlu belajar mengelola ekspektasi diri sendiri, daripada terpaku pada apa yang dianggap harus dicapai orang lain. Belajar berkata “tidak” tanpa rasa bersalah adalah bentuk perlawanan sehat terhadap tekanan sosial.
Mencari teman bicara, seperti konselor, sahabat, atau layanan pendamping, bisa sangat membantu meringankan beban. Komunitas juga bisa menjadi tempat aman untuk berbagi pengalaman tanpa takut dihakimi. Dukungan seperti ini menumbuhkan perasaan bahwa kita tidak sendiri, bahwa banyak orang juga merasa lelah namun berani tetap bertahan.
Langkah-Langkah untuk Menjaga Kesehatan Mental
- Menerima Emosi: Mengakui bahwa merasa lelah adalah hal wajar dan tidak harus selalu terlihat kuat.
- Mengatur Ekspektasi: Menetapkan target yang realistis dan tidak terlalu tinggi.
- Berkomunikasi: Membuka diri untuk berbicara dengan orang terpercaya.
- Mencari Bantuan Profesional: Menghubungi konselor atau psikolog jika perlu.
- Berpartisipasi dalam Komunitas: Bergabung dengan kelompok yang saling mendukung dan memahami.
Dengan memahami dan menghadapi duck syndrome secara bijak, mahasiswa dapat menjaga kesehatan mental mereka serta tetap berjuang tanpa kehilangan keseimbangan hidup.