
Tunjangan Rumah Anggota DPR: Kritik atas Pengeluaran Besar di Tengah Sulitnya Ekonomi
Tunjangan rumah sebesar Rp50 juta per bulan yang diberikan kepada anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menimbulkan banyak kritik dari berbagai pihak. Hal ini dikarenakan besaran tunjangan tersebut dinilai tidak proporsional dengan kondisi ekonomi masyarakat yang sedang sulit. Pendapatan resmi anggota DPR, termasuk gaji pokok dan berbagai tunjangan lainnya, mencapai lebih dari Rp100 juta per bulan.
Para pengamat menilai bahwa kebijakan ini “tidak layak” dalam situasi saat ini. Egi Primayogha dari Indonesia Corruption Watch (ICW) menyampaikan bahwa warga menghadapi kesulitan dalam memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari, sementara pajak juga meningkat. Ia menilai keputusan ini tidak pantas karena tidak sesuai dengan kondisi masyarakat yang semakin sulit.
Penjelasan dari Sekretaris Jenderal DPR
Sekretaris Jenderal DPR, Indra Iskandar, menjelaskan bahwa perbedaan penerimaan antara anggota DPR periode lalu dan saat ini disebabkan oleh adanya tunjangan rumah sebesar Rp50 juta per bulan sebagai pengganti fasilitas rumah dinas. Namun, kebijakan ini mendapat kritik dan ditolak banyak pihak karena dinilai terlalu besar. Selain itu, dalih agar anggota DPR tinggal dekat dengan gedung DPR juga dinilai tidak valid, mengingat kehadiran mereka sering kali tidak maksimal, sehingga pembahasan legislasi sering terhambat.
Penggunaan Anggaran yang Dinilai Boros
ICW menghitung bahwa pengeluaran untuk tunjangan rumah mencapai Rp1,74 triliun selama 60 bulan dengan asumsi Rp50 juta dikalikan 60 bulan dan 580 anggota DPR. Hal ini dinilai sangat boros, terlebih ketika pemerintah sendiri tengah melakukan efisiensi anggaran. Egi menegaskan bahwa DPR perlu mempertimbangkan aspek etika publik dalam mengambil kebijakan seperti ini.
Masalah Ekonomi yang Dihadapi Masyarakat
Egi juga menyoroti berbagai masalah ekonomi yang dialami masyarakat, seperti kenaikan harga beras, pajak PPN dari 11% menjadi 12%, serta kenaikan pajak bumi dan bangunan (PBB) di sejumlah daerah. Data Badan Pangan Nasional (Bapanas) menunjukkan bahwa harga rata-rata beras premium naik menjadi Rp16.088/kg secara nasional. Belum lagi, jumlah pekerja yang mengalami pemutusan hubungan kerja pada semester pertama tahun 2025 meningkat signifikan.
Tunjangan Lain yang Diterima Anggota DPR
Selain tunjangan rumah, anggota DPR juga menerima berbagai tunjangan lain. Berikut adalah beberapa contoh tunjangan yang diterima:
- Tunjangan melekat:
- Tunjangan istri/suami: Rp420.000
- Tunjangan anak: Rp168.000
- Uang sidang/paket: Rp2.000.000
- Tunjangan jabatan: Rp9.700.000
- Tunjangan beras: Rp30.090 per jiwa
Tunjangan PPh Pasal 21: Rp2.699.8132
Tunjangan lain:
- Tunjangan kehormatan: Rp5.580.000
- Tunjangan komunikasi: Rp15.554.000
- Tunjangan peningkatan fungsi pengawasan dan anggaran: Rp3.750.000
- Bantuan listrik dan telepon: Rp7.700.000
- Asisten anggota: Rp2.250.000
Jika dijumlahkan, seorang anggota DPR dapat membawa pulang uang setidaknya sebesar Rp54.051.903 per bulan di luar tunjangan rumah, uang perjalanan dinas, dan dana ke daerah pemilihan.
Kinerja DPR yang Tak Memuaskan
Menurut Lucius Karus dari Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), tunjangan yang diterima anggota DPR bisa dianggap sebagai “subsidi negara”. Namun, kinerja mereka dinilai tidak sebanding dengan subsidi yang diberikan. Contohnya, beberapa RUU yang dibahas oleh DPR menuai kontroversi karena minimnya partisipasi publik.
Pertanyaan tentang Fasilitas Rumah Dinas
Sejak isu tunjangan rumah mencuat, banyak orang mempertanyakan kondisi rumah dinas yang tersedia untuk anggota DPR. Sekretaris Jenderal DPR, Indra Iskandar, menjelaskan bahwa banyak rumah dinas dalam kondisi rusak dan butuh renovasi. Biaya pemeliharaan juga cukup besar, sehingga tidak bisa segera digunakan.
Tanggapan Anggota DPR
Beberapa anggota DPR menilai bahwa tunjangan rumah berkaitan dengan tidak adanya rumah dinas lagi dan banyaknya anggota DPR yang berasal dari luar Jakarta. Namun, ketika ditanya apakah harus mencapai Rp50 juta per bulan, mereka menolak berkomentar dan melempar kepada pimpinan. Hanya TB Hasanuddin yang menjawab bahwa kebijakan ini bukan diatur oleh anggota DPR, melainkan oleh pemerintah.