
Sidang Pembacaan Laporan Dugaan Pelanggaran KPPU Terkait Fintech P2P Lending
Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) telah memulai proses sidang terkait dugaan pelanggaran dalam Perkara Nomor 05/KPPU-I/2025. Perkara ini berhubungan dengan dugaan pelanggaran terhadap Pasal 5 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, khususnya terkait Layanan Pinjam Meminjam Uang atau Pendanaan Bersama Berbasis Teknologi Informasi (Fintech P2P Lending). Sidang pembacaan laporan dugaan pelanggaran dijadwalkan berlangsung pada 26 Agustus 2025.
Kepala Biro Hubungan Masyarakat dan Kerja Sama KPPU, Deswin Nur, menyampaikan bahwa perkara ini melibatkan sebanyak 97 terlapor dari industri fintech. “Sidang yang beragendakan Pembacaan Laporan Dugaan Pelanggaran oleh Investigator KPPU ini, melibatkan perusahaan pendanaan yang menjadi anggota Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia,” ujarnya dalam keterangan tertulis.
Sebelum sidang utama, KPPU juga telah menggelar sidang pemeriksaan pendahuluan pada 14 Agustus 2025. Dalam sidang yang akan digelar pada 26 Agustus, pihak KPPU akan memeriksa alat bukti dan memanggil terlapor yang tidak hadir dalam sidang sebelumnya. Agenda utama pada sidang tersebut adalah pembacaan Laporan Dugaan Pelanggaran bagi empat terlapor yang tidak hadir serta pemeriksaan alat bukti yang digunakan oleh Investigator selama tahap pemeriksaan.
Penetapan Bunga dan Kekhawatiran dari Asosiasi Fintech
Sebelumnya, KPPU menyebut bahwa terlapor melakukan perubahan tingkat bunga pinjaman, termasuk biaya pinjaman dan biaya lainnya, dari maksimal 0,8 persen per hari menjadi 0,4 persen per hari pada 2021. Jika terbukti melanggar, para pelaku usaha dapat dikenakan sanksi administratif seperti denda hingga 50 persen dari keuntungan dari pelanggaran atau hingga 10 persen dari penjualan di pasar bersangkutan dan selama periode pelanggaran.
Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI), Entjik S. Djafar, menanggapi tuduhan KPPU dengan menegaskan bahwa penetapan bunga dilakukan melalui diskusi intensif dengan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan bertujuan melindungi konsumen. “Kami mengikuti arahan OJK. Kalau diminta menurunkan bunga, ya kami turunkan. Tujuannya bukan mencari keuntungan lebih, tapi menjaga agar bunga tidak terlalu tinggi,” ujarnya dalam acara Diskusi Publik di Jakarta Pusat.
Menurut Entjik, penetapan batas bunga tidak dimaksudkan untuk mematikan persaingan, melainkan untuk memastikan tarif pinjaman tetap berada dalam batas wajar. Ia menilai langkah ini penting agar industri pinjaman daring (Pindar) tetap sehat dan tidak menjadi beban berlebihan bagi peminjam.
Risiko Jika Bunga Terlalu Rendah
Entjik khawatir jika bunga dipatok terlalu rendah, justru akan menurunkan minat investor untuk menyalurkan dana kepada peminjam, terutama bagi mereka yang belum memiliki riwayat kredit atau dikenal sebagai virgin borrower. “Kalau bunga terlalu rendah, banyak yang tidak lolos pembiayaan. Akhirnya, mereka kembali ke pinjol ilegal,” ujarnya.
Ia menegaskan, pinjol ilegal masih menjadi ancaman serius bagi masyarakat. Bunga yang sangat tinggi dan penagihan yang tidak sesuai aturan membuat banyak korban mengalami tekanan ekonomi hingga permasalahan sosial.
Kekhawatiran terhadap Iklim Investasi
Entjik juga menyampaikan kekhawatiran bahwa polemik dengan KPPU dapat mengganggu iklim investasi. Ia menyebut, jika tidak ada kejelasan, sebagian investor luar negeri bisa saja menahan penyaluran dana atau bahkan menarik investasinya. “Kami ini melindungi konsumen, tapi malah dituduh penjahat. Padahal yang seharusnya ditindak tegas itu pinjol ilegal yang merugikan masyarakat,” kata dia.


















































