
Data Terbaru Kasus Keracunan MBG di Garut
Dinas Kesehatan (Dinkes) Kabupaten Garut mengungkapkan data terkini mengenai jumlah pelajar yang mengalami gejala keracunan setelah mengonsumsi menu Makan Bergizi Gratis (MBG). Hingga saat ini, jumlah pelajar yang terkena dampak keracunan mencapai 569 orang.
Kadinkes Garut, dr Leli Yuliani, menjelaskan bahwa angka tersebut diperoleh dari laporan yang masuk dari berbagai sekolah di wilayah Garut. “Hingga hari ini, kami telah menerima laporan dari beberapa sekolah, termasuk salah satu Sekolah Dasar di Kecamatan Kadungora,” ujar Leli.
Dari total 569 pelajar tersebut, sebagian besar mengalami gejala ringan dan hanya membutuhkan perawatan di rumah masing-masing. Namun, sekitar 30 pelajar harus dirawat inap di Puskesmas. Dari jumlah tersebut, 11 orang sudah kembali ke rumah, sementara 19 siswa lainnya masih menjalani pengobatan.
Penyebab dan Kemungkinan Penyebab Keracunan
Menurut laporan Dinkes Garut, para pelajar yang terkena keracunan berasal dari empat sekolah berbeda, yaitu dua sekolah menengah pertama (SMP) dan satu sekolah menengah atas (SMA) yang berada dalam satu yayasan, serta sebuah Sekolah Dasar (SD) dan Madrasah Aliyah.
Kasus keracunan ini menimbulkan kekhawatiran terhadap sistem penyediaan makanan bergizi gratis yang dilakukan oleh Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG). Wakil Ketua Komisi IX DPR dari Fraksi PDIP, Charles Honoris, menyampaikan bahwa penanganan program MBG perlu diperbaiki untuk mencegah terulangnya kasus serupa.
Charles menyoroti pentingnya standar operasional prosedur (SOP) yang ketat dalam penyediaan makanan. Ia menyarankan Badan Gizi Nasional (BGN) untuk memperbaiki SOP dan memastikan pelaksanaannya di berbagai SPPG. Menurutnya, banyak SPPG di Jakarta tidak menjalankan SOP dengan baik, seperti adanya tempat cuci alat makanan yang tidak higienis dan kurangnya alat penangkap serangga.
Selain itu, Charles juga mengkritik waktu persiapan makanan yang terlalu lama. Biasanya, bahan baku disiapkan pada pukul 23.00, dimasak pada pukul 04.00, dan dibungkus pada pukul 07.00. Makanan baru dihidangkan pada pukul 11 atau 12 siang, sehingga risiko kontaminasi tinggi.
Usulan Alternatif untuk Mencegah Keracunan
Charles mengusulkan beberapa solusi untuk mengurangi risiko keracunan. Salah satunya adalah melibatkan kantin atau dapur sekolah dalam penyediaan makanan. Dengan demikian, makanan bisa disajikan lebih cepat dan mengurangi risiko kontaminasi.
Selain itu, ia juga menyarankan agar BGN memberikan dana kepada orang tua siswa. Dana tersebut dapat digunakan untuk mempersiapkan makanan bergizi sendiri di rumah. Dengan cara ini, anak-anak bisa tetap mendapatkan nutrisi yang cukup tanpa terkena risiko keracunan dari makanan yang disediakan oleh SPPG.
Peran BPOM dalam Pengawasan Pangan
Anggota Komisi IX DPR dari Fraksi NasDem, Irma Suryani Chaniago, juga menyampaikan kekhawatiran terkait pengawasan pangan dalam program MBG. Ia menyarankan agar Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) dilibatkan dalam pengawasan pangan untuk memastikan keamanan makanan yang disajikan.
Ia menekankan bahwa BGN memiliki anggaran yang besar dan harus bertanggung jawab dalam menjalankan amanat Presiden Prabowo Subianto. Program MBG harus mampu mencapai tujuan meningkatkan gizi anak Indonesia, sehingga nantinya generasi muda bangsa memiliki kualitas intelektual yang sesuai harapan.
Kesimpulan
Kasus keracunan MBG di Garut menjadi peringatan bagi pemerintah dan lembaga terkait untuk lebih waspada dalam menjalankan program makan bergizi gratis. Diperlukan perbaikan sistem, pengawasan yang ketat, serta alternatif solusi untuk memastikan keamanan dan kualitas makanan yang diberikan kepada anak-anak. Dengan langkah-langkah ini, diharapkan program MBG dapat berjalan dengan baik dan memberikan manfaat optimal bagi kesehatan dan perkembangan anak-anak Indonesia.