
Peran Komunikasi Politik dalam Membangun Hubungan dengan Rakyat
Komunikasi politik menjadi salah satu aspek penting dalam menjaga hubungan antara wakil rakyat dan masyarakat. Namun, beberapa waktu terakhir, fenomena penonaktifan sejumlah anggota DPR menimbulkan berbagai reaksi publik. Tidak hanya sekadar masalah perilaku individu, kasus ini juga membuka kembali perdebatan tentang bagaimana para wakil rakyat berkomunikasi dengan masyarakat.
Dr. Hj. Diah Fatma Sjoraida, S.E., M.Si., seorang akademisi dan pakar komunikasi politik, menyatakan bahwa akar dari masalah ini terletak pada kegagalan memahami audiens, yaitu rakyat. Ia menegaskan bahwa komunikasi bukan hanya tentang menyampaikan pesan, tetapi lebih dari itu, yaitu membangun hubungan dan kepercayaan. Ketika para politisi lupa bahwa mereka adalah pelayan rakyat, maka setiap ucapan atau tindakan yang tidak sensitif bisa berdampak negatif.
Politisi yang baik, menurutnya, tidak hanya pandai berbicara, tetapi juga paham konteks, memiliki empati, serta konsisten antara ucapan dan tindakan. Dalam demokrasi, hal ini bukan hanya soal citra, tetapi juga legitimasi. Jika tidak ada komunikasi yang sehat, maka legitimasi politik akan semakin melemah.
Penonaktifan Anggota DPR: Simbolik atau Tindakan Nyata?
Mengenai maraknya kasus penonaktifan anggota DPR oleh partai, Dr. Diah menilai bahwa langkah tersebut hanya bersifat simbolik. Ia menegaskan bahwa jika tidak disertai dengan evaluasi yang mendalam, publik akan menganggapnya sebagai pencitraan politik belaka. Masyarakat saat ini jauh lebih kritis dan tidak mudah puas dengan tindakan permukaan.
Menurutnya, publik kini semakin peka terhadap gesture politik. Tanpa adanya evaluasi mendalam dan perubahan nyata, tindakan permukaan seperti penonaktifan akan semakin merusak kredibilitas partai politik. Di era informasi yang terbuka, kritik publik menjadi ujian sejati bagi politisi. Respons yang sehat terhadap kritik harus ditunjukkan dengan sikap rendah hati, mendengarkan kritikan dengan terbuka, mengakui kesalahan, dan merespon dengan tindakan nyata.
Kritik sebagai Tanda Sehatnya Demokrasi
Kritik, menurut Dr. Diah, bukanlah ancaman, melainkan tanda sehatnya demokrasi. Namun, jika kritik terlalu masif, ini bisa menjadi indikasi krisis legitimasi karena rakyat merasa tidak terwakili oleh institusi politik. Buruknya komunikasi, lanjutnya, memperparah jarak antara rakyat dan wakilnya. Komunikasi yang buruk menyebabkan jarak antara pengambil kebijakan dan masyarakat semakin lebar.
Jika tidak ada dialog dua arah, kebijakan lahir tanpa memahami kebutuhan rakyat, yang akhirnya mengakibatkan lemahnya partisipasi publik. Menurutnya, empati bukan hanya jargon politik, melainkan prinsip dasar yang harus diterapkan dalam keseharian. Empati harus hadir dalam praktik politik sehari-hari, konsistensi antara kata dan tindakan, keterlibatan langsung di tengah masyarakat, serta transparansi yang berbasis data dan realitas lapangan.
Strategi Komunikasi Politik yang Sehat
Strategi komunikasi politik yang sehat harus meninggalkan pendekatan pencitraan semata. Pejabat publik perlu mengubah pendekatan atasan-bawahan, meningkatkan literasi media, serta membentuk tim komunikasi yang paham sensitivitas publik. Ketiadaan strategi yang sehat akan menimbulkan konsekuensi serius, seperti melemahnya stabilitas sosial, meningkatnya apatisme, hingga maraknya golput.
Media sosial juga menjadi ruang demokrasi baru yang bisa digunakan untuk menggiring opini, menjadi alat kontrol sosial, dan memaksa pejabat untuk introspeksi diri. Namun, ia mengingatkan bahwa klarifikasi di media sosial tanpa perubahan nyata hanya akan menambah ketidakpercayaan. Rakyat ingin bukti, bukan hanya kata-kata atau pernyataan maaf.
Bahasa Politik yang Elitis
Bahasa politik juga memegang peran penting. Dr. Diah menegaskan bahwa bahasa yang elitis atau sinis dapat memicu delegitimasi masif. Menggunakan bahasa yang tidak empatik, menganggap kritik sebagai serangan pribadi, serta meremehkan realitas rakyat bisa mempercepat krisis legitimasi. Ia menekankan bahwa komunikasi yang bagus pun tidak bisa menyelamatkan kebijakan yang menyengsarakan rakyat.
Akhirnya, Dr. Diah mendorong agar komunikasi politik dijadikan jembatan nyata antara negara dan rakyat. Komunikasi politik harus menjadi jembatan antara rakyat dan negara, bukan sekadar alat kekuasaan. Diperlukan reformasi budaya politik dari dalam, pendidikan politik berbasis empati, serta pengambilan keputusan berbasis data.