
Kebijakan Pemerintah Menempatkan Dana Negara di Bank Milik Pemerintah
Pemerintah telah mengambil langkah penting dengan menempatkan dana negara sebesar Rp 200 triliun di lima bank milik pemerintah. Langkah ini diharapkan dapat memberikan dampak positif terhadap likuiditas perbankan dan pertumbuhan ekonomi. Namun, keberhasilannya sangat bergantung pada bagaimana kebijakan tersebut dieksekusi.
Kepala Ekonom Bank Permata, Josua Pardede, menyampaikan bahwa saat ini kondisi likuiditas masih memungkinkan untuk menerima kebijakan dorongan fiskal. Meskipun peredaran uang sebagai penggerak aktivitas ekonomi sedikit melemah dibanding rerata historis, inflasi tetap berada dalam kisaran tengah target yang ditetapkan. Hal ini memberikan peluang bagi kebijakan ekspansif.
Menurutnya, penempatan dana pemerintah sebesar Rp 200 triliun ke perbankan dapat membantu mendorong likuiditas dan mempercepat pertumbuhan kredit. Namun, dampaknya tidak otomatis besar tanpa desain yang tepat. Dari hitungan yang dilakukan, penempatan dana tersebut bisa membantu pertumbuhan dana pihak ketiga (DPK) sekitar 1,7 persen. Selain itu, penyaluran kredit juga diprediksi tumbuh antara 0,8 hingga 1,4 persen, sehingga total kredit mendekati dua digit.
Pada Juli 2025, pertumbuhan kredit mencapai 7,03 persen secara tahunan menjadi Rp 8.043,2 triliun. Namun, Josua menegaskan bahwa angka-angka ini hanya menggambarkan potensi, bukan kepastian. Kuncinya terletak pada eksekusi dan tata kelola penyaluran dana yang tepat sasaran, agar dana benar-benar dialirkan menjadi kredit ke sektor yang produktif.
Penilaian dari Pakar Ekonomi
Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, menilai bahwa penempatan dana pemerintah ke perbankan belum tentu efektif jika prasyaratnya tidak terpenuhi. Ia menekankan bahwa pemerintah harus memastikan dana tersebut digunakan untuk proyek yang produktif dan menguntungkan.
Bhima juga mengingatkan agar dana tidak dialokasikan ke program-program berisiko tinggi seperti Makan Bergizi Gratis (MBG) atau Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih yang memiliki serapan rendah. Ia khawatir jika penyaluran kredit tidak selektif, maka akan muncul risiko moral hazard kredit fiktif.
Selain itu, pemerintah perlu lebih berhati-hati dalam mengawasi penggunaan dana tersebut agar tidak menjadi aset terlantar (stranded asset). Pengawasan juga diperlukan agar perbankan tidak menggunakan uang tersebut untuk membeli Surat Berharga Negara (SBN).
Langkah Mitigasi Risiko
Untuk mengurangi risiko, Bhima menyarankan Menteri Keuangan membuat perjanjian dan regulasi yang spesifik. Regulasi ini bisa dalam bentuk Peraturan Menteri Keuangan. Langkah-langkah ini merupakan bagian dari upaya mitigasi risiko yang bersifat pre-emptive.
Dengan demikian, kebijakan penempatan dana negara di bank milik pemerintah perlu didukung oleh sistem pengawasan yang ketat dan rencana penyaluran yang jelas. Hanya dengan begitu, dana tersebut dapat benar-benar memberikan manfaat yang nyata bagi perekonomian nasional.