
Layanan Khusus untuk Petani dan Pedagang di Jalur Kereta Api
PT Kereta Api Indonesia (Persero) tengah mempersiapkan layanan khusus kereta api yang ditujukan bagi para petani dan pedagang. Rencananya, layanan ini akan diluncurkan pada September 2025. Dengan adanya layanan ini, diharapkan dapat memberikan manfaat signifikan bagi masyarakat desa serta mengurangi beban transportasi yang selama ini dialami oleh para pengemudi hasil pertanian.
Pengamat transportasi Djoko Setijowarno menilai bahwa kehadiran kereta khusus untuk petani dan pedagang merupakan bentuk empati terhadap masyarakat pedesaan. Menurutnya, layanan ini tidak hanya membantu meningkatkan perekonomian desa, tetapi juga bisa menjadi solusi untuk mengurangi laju urbanisasi.
Djoko menjelaskan bahwa aktivitas petani dan pedagang menggunakan kereta menuju pasar di Jakarta sudah berlangsung puluhan tahun. Mereka membawa berbagai hasil bumi seperti pisang, ketela, cabai, jagung, hingga sayuran segar. Selain itu, mereka juga membawa makanan tradisional seperti nasi uduk, pisang rebus, tape, dan kue pukis.
Rute Rangkasbitung–Tanah Abang menjadi jalur utama yang digunakan oleh para petani dan pedagang. Namun, jalur tersebut juga digunakan oleh penumpang KRL Commuter Line. Akibatnya, keterbatasan kapasitas dan waktu berhenti kereta menjadi kendala utama.
Para petani biasanya berangkat sejak pukul 04.00 WIB dari Stasiun Rangkasbitung, singgah di beberapa stasiun lain, lalu turun di Pasar Tanah Abang atau melanjutkan perjalanan ke stasiun lain menggunakan KRL. Hal ini menyebabkan kesulitan dalam mengangkut barang dagangan yang harus dipersiapkan sejak dini hari.
Menurut Djoko, tingginya permintaan distribusi hasil bumi dengan kereta membuat kebutuhan kereta khusus semakin mendesak. Saat ini, barang dagangan yang sudah dipersiapkan harus diangkut dalam waktu singkat saat kereta berhenti hanya sekitar dua menit. Bahkan, sebagian petani dan pedagang memilih menginap di stasiun sejak tengah malam agar tidak tertinggal kereta pertama.
Pendapatan yang diperoleh para petani dan pedagang berkisar antara Rp 250 ribu hingga Rp 800 ribu per hari, dengan keuntungan bersih minimal Rp 100 ribu. Keberadaan kereta khusus ini diharapkan dapat memberikan manfaat lebih besar, seperti kapasitas angkut barang yang lebih besar, tidak mengganggu penumpang umum, serta memungkinkan pengangkutan hewan ternak.
Djoko menekankan bahwa kolaborasi lintas pemangku kepentingan sangat dibutuhkan untuk merealisasikan program ini. PT KAI dapat menyediakan sarana kereta beserta fasilitas pendukungnya, sementara Direktorat Jenderal Perkeretaapian bisa mengusulkan subsidi operasional melalui APBN. Pemda Lebak juga diharapkan menyiapkan angkutan umum menuju stasiun, bahkan bisa memberikan insentif BBM kepada angkutan lokal yang mengangkut petani dan pedagang secara gratis.
Selain itu, Pemprov DKI Jakarta juga dapat dilibatkan untuk menghidupkan kembali bus pasar sebagai transportasi lanjutan dari stasiun. Djoko bahkan mengusulkan agar KPAI dilibatkan untuk memberi masukan sebelum layanan ini resmi diluncurkan.
Ke depan, konsep serupa bisa diperluas ke jalur kereta lain yang dulunya memiliki layanan kereta lokal, seperti Purwakarta–Kota, Wonogiri–Purwosari, Rancaekek–Bandung, hingga Sukabumi–Kota. Tidak selalu berupa kereta khusus, tetapi juga bisa digandengkan dengan kereta penumpang di lintasan non-KRL.
Dengan adanya layanan ini, Djoko berharap perputaran ekonomi desa-kota semakin meningkat, sekaligus menekan perpindahan warga desa ke perkotaan.



















































