
Perkembangan Industri Mobil Listrik dan Dampaknya pada Pasar Konvensional
Industri mobil listrik atau EV semakin menggeser pasar mobil konvensional yang dikenal dengan istilah ICE. Hal ini menimbulkan kekhawatiran terhadap penyerapan tenaga kerja di dalam negeri, karena sebagian besar permintaan mobil listrik masih dipenuhi melalui impor. Sebagai organisasi yang mewakili industri otomotif nasional, Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) menyatakan bahwa pergeseran ini bisa berdampak signifikan terhadap ekonomi dan kesempatan kerja.
Sekretaris Umum Gaikindo, Kukuh Kumara, menjelaskan bahwa produk EV kini lebih banyak menargetkan pasar segmen bawah, yaitu mobil dengan harga di bawah Rp 400 juta per unit. Menurut data Gaikindo, segmen ini berkontribusi sebesar 57% dari total penjualan mobil pada tahun lalu, atau sekitar 500.000 unit. Namun, yang menjadi perhatian adalah bahwa pasar yang tergerus oleh mobil listrik justru merupakan mobil-mobil konvensional yang memiliki Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) tinggi. Produksi mobil tersebut melibatkan banyak tenaga kerja, sehingga pengurangan permintaan dapat memengaruhi jumlah lapangan kerja.
Kukuh menilai bahwa pasar EV seharusnya lebih cocok untuk kendaraan dengan harga di atas Rp 400 juta per unit. Pada kenyataannya, segmen harga tersebut hanya berkontribusi sebesar 18,61% dari total penjualan mobil di dalam negeri tahun lalu. Oleh karena itu, ia menilai bahwa pasar EV tidak seharusnya menjadi pembeli mobil pertama, tetapi lebih sebagai alternatif bagi konsumen yang ingin memiliki kendaraan ramah lingkungan.
Namun, saat ini, persaingan yang ketat membuat industri EV mulai merangsek masuk ke pasar di bawah Rp 400 juta. Kukuh menyebutkan bahwa beberapa pembeli mobil pertama kini memilih mobil listrik karena harganya yang lebih terjangkau. Hal ini berdampak pada penurunan permintaan mobil konvensional dengan TKDN tinggi. Ia menegaskan bahwa diperlukan keseimbangan antara pasar mobil konvensional dan mobil listrik agar tidak terjadi ketidakseimbangan yang berkelanjutan.
Usulan Kebijakan untuk Mengatur Pasar Mobil Listrik
Untuk mengatasi situasi ini, Kukuh mengusulkan agar pemerintah kembali meninjau kebijakan terkait insentif mobil listrik. Saat ini, insentif EV ditetapkan melalui Peraturan Pemerintah No. 74 Tahun 2021, sementara Peraturan Pemerintah No. 73 Tahun 2019 sebelumnya pernah memberlakukan aturan serupa. Menurut Kukuh, PP No. 73 Tahun 2019 memiliki tujuan yang lebih jelas dalam penggunaan mobil listrik, yakni untuk menurunkan emisi karbon.
Aturan tersebut juga menetapkan pajak kendaraan bermotor proporsional dengan emisi yang dihasilkan. Dengan kembalinya aturan ini, diharapkan dapat mendorong utilisasi produksi sektor manufaktur. Peningkatan daya saing antara mobil EV dan ICE akan berdampak positif pada pertumbuhan industri kendaraan bermotor.
Kukuh menjelaskan bahwa jika pajak cukup adil dan kemudahan investasi juga seimbang, industri otomotif akan berkembang pesat. Setiap pekerjaan di sektor otomotif dapat menciptakan empat lapangan kerja tambahan di luar sektor utamanya. Hal ini sangat penting untuk meningkatkan stabilitas ekonomi dan penyerapan tenaga kerja.
Tren Penurunan Penjualan Mobil
Selain itu, Kukuh juga mempertanyakan data pertumbuhan ekonomi nasional pada kuartal kedua tahun ini. Meskipun angka pertumbuhan ekonomi positif, penjualan mobil secara nasional menunjukkan tren penurunan yang signifikan. Berdasarkan data Gaikindo, penjualan mobil pada Mei-Juli 2025 mengalami penurunan lebih dari 15% setiap bulannya. Penurunan terbesar terjadi pada Juni 2025, sebesar 22,54%, dan Juli 2025 turun sebesar 18,43%.
Kukuh menilai bahwa daya beli masyarakat belum pulih sepenuhnya. Meskipun ada indikasi pertumbuhan ekonomi yang positif, realitanya penjualan mobil jauh lebih rendah dibandingkan angka tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa kondisi pasar mobil masih lesu dan perlu adanya kebijakan yang lebih strategis untuk menggerakkan kembali sektor ini.