Nasional Membubarkan DPR : Solusi Atau Sekedar Mengulang Luka Lama

Membubarkan DPR : Solusi Atau Sekedar Mengulang Luka Lama

33
0

Opini

Penulis : Mevlana Thufail (Mahasiswa UIN Syarif Hidayatulloh – Jakarta)

Bayangkan sebuah rumah besar dengan dapur yang tiba-tiba terbakar karena kelalaian penghuni. Asap mengepul, api menjilat dinding, dan semua orang panik. Amarah pun meledak: ada yang menyalahkan penjaga rumah, ada pula yang menuding pengurus keluarga. Di tengah kepanikan itu, muncullah gagasan ekstrem “kalau begitu, bakar saja seluruh rumah, biar api padam sekalian.”

Sekilas terdengar masuk akal bagi mereka yang terbakar emosi. Padahal, apa jadinya jika seluruh rumah ikut hangus? Benar, api dapur mungkin padam, tapi semua penghuni kehilangan tempat berlindung. Mereka yang tadinya ingin selamat justru jadi korban karena solusi yang diambil keliru.

Begitulah wajah tuntutan pembubaran DPR dalam demonstrasi belakangan ini. DPR memang punya banyak luka, boroknya tercium tajam, dan kekecewaan publik amat wajar. Tetapi menjawab kebusukan itu dengan menghapus lembaga parlemen sama saja dengan membakar rumah sendiri. Api yang tadinya kecil bisa berubah jadi bencana besar, karena tanpa DPR, bangsa ini justru dibiarkan tanpa penyeimbang kekuasaan.
Harus diakui, DPR sekarang memang bikin banyak orang muak. Kasus korupsi, kebijakan yang terasa jauh dari rakyat, sampai gaya hidup mewah sebagian anggotanya, semua jadi bahan cibiran.

Rasanya wajar kalau masyarakat bertanya: “Untuk apa kita punya wakil rakyat kalau kerjanya malah bikin repot?” Dari sinilah muncul seruan ekstrem: bubarkan DPR. Masalahnya, membubarkan DPR bukan solusi. Dalam sistem demokrasi, DPR adalah rem sekaligus pengawas bagi presiden. Tanpa DPR, presiden bisa membuat kebijakan semaunya tanpa ada yang mengoreksi. Kita mungkin kesal karena remnya blong, tapi kalau rem dilepas begitu saja, mobil negara ini bisa melaju kencang ke arah jurang.

Bayangkan kalau semua kekuasaan hanya dipegang eksekutif. Siapa yang bisa mengkritik? Siapa yang bisa menolak kebijakan yang merugikan rakyat? Tanpa DPR, ruang pengawasan akan hilang, dan itu pintu masuk menuju sistem yang otoriter. Sejarah Indonesia sendiri sudah memberi bukti: ketika kekuasaan terlalu lama terkonsentrasi pada satu orang atau satu kelompok, rakyat selalu jadi korban.

Sejarah Indonesia sudah pernah mencatat betapa berbahayanya jika DPR hilang atau dibuat sekadar formalitas. Pada tahun 1960, Presiden Soekarno membubarkan DPR karena lembaga itu menolak RAPBN yang diajukannya. Sebagai gantinya, ia membentuk DPR-GR, yang anggotanya ditunjuk langsung oleh presiden. Bukan lagi wakil rakyat, melainkan wakil presiden. Langkah itu semakin menguatkan sistem Demokrasi Terpimpin, di mana Soekarno menempatkan dirinya sebagai pusat kekuasaan. Bahkan, ia sempat menyebut dirinya sebagai “Presiden seumur hidup”.

Pengalaman pahit itu berlanjut di era Soeharto. Meski DPR tidak dibubarkan, keberadaannya hanya jadi stempel politik semata. Hampir semua kursi diisi oleh Golkar, ABRI, dan kelompok yang mendukung pemerintah. Kritik nyaris tak terdengar, karena DPR tidak benar-benar berfungsi sebagai pengawas eksekutif. Hasilnya, kekuasaan Soeharto berlangsung selama 32 tahun, dengan ruang demokrasi yang sangat sempit.

Kedua periode itu sama-sama memberi pesan jelas: tanpa DPR yang independen dan kritis, bangsa ini mudah terjerumus ke dalam otoritarianisme. Membubarkan DPR atau menjadikannya boneka kekuasaan sama saja membuka jalan bagi lahirnya rezim diktator.
Kalau begitu, apa solusinya? Bukan membubarkan DPR, melainkan memperbaikinya. Caranya bisa lewat reformasi partai politik, mendorong transparansi, dan memperketat mekanisme pengawasan publik. Bahkan kalau perlu, dilakukan reshuffle total: wajah-wajah lama yang sudah kehilangan kepercayaan diganti dengan orang-orang yang benar-benar lahir dari rakyat. Bayangkan sebuah DPR yang kursinya diisi oleh buruh, petani, nelayan, guru, dan mahasiswa bukan hanya elite partai yang jauh dari kehidupan sehari-hari masyarakat. Dengan begitu, DPR bisa kembali terasa sebagai representasi rakyat, bukan menara gading yang eksklusif.
Rakyat juga punya peran penting: lebih kritis dalam memilih wakil, berani bersuara, dan tidak memberi ruang bagi politik uang. DPR memang sering mengecewakan, tetapi tanpa DPR, kita justru akan kehilangan ruang untuk mengontrol kekuasaan.

Sejarah sudah membuktikan, negeri ini pernah hampir tenggelam ketika parlemen dibungkam atau dijadikan boneka penguasa. Maka, jangan sampai kita mengulang kesalahan yang sama. Marah kepada DPR itu sah, tapi menghapus DPR sama saja dengan membakar rumah hanya karena dapurnya kotor. Demokrasi memang berisik, penuh drama, dan sering bikin kita lelah. Namun justru di situlah kekuatannya: ada ruang saling mengingatkan, ada keseimbangan yang menjaga agar kekuasaan tidak melenceng.

Pada akhirnya, pilihan ada di tangan kita semua. Apakah kita mau membuang marah dengan jalan pintas yang berbahaya, atau kita mau menguatkan demokrasi dengan cara yang lebih dewasa? Jika benar ingin perubahan, maka bukan dengan membubarkan DPR, melainkan dengan memastikan DPR benar-benar kembali jadi wakil rakyat, bukan sekadar kursi empuk bagi segelintir orang.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini