
Pemerintah China Memperingatkan Industri Mobil Listrik untuk Berhenti Menurunkan Harga
Pemerintah Tiongkok telah mengimbau industri mobil listrik (EV) di negaranya untuk menghentikan praktik menurunkan harga secara berlebihan dan membatasi laju produksi. Langkah ini dilakukan sebagai respons terhadap kekhawatiran akan deflasi yang berkepanjangan, yang dapat menghambat pertumbuhan ekonomi negara tersebut.
Menurut laporan media internasional, pejabat tinggi Tiongkok dalam beberapa bulan terakhir sering menyebut istilah “involution” dalam diskusi tentang situasi ekonomi. Istilah ini merujuk pada kondisi di mana upaya dan investasi semakin besar, tetapi hasil yang diperoleh justru menurun. Salah satu sektor yang paling terkena dampak dari fenomena ini adalah industri mobil listrik, yang mengalami kelebihan kapasitas.
Presiden Xi Jinping bahkan secara langsung menegur pemerintah daerah karena dinilai terlalu giat memberikan dana kepada sektor strategis seperti kecerdasan buatan, komputasi, dan kendaraan energi baru. Ia menekankan pentingnya mengakhiri siklus “involution” ini agar ekonomi tetap berkelanjutan.
Produsen Besar Diingatkan oleh Regulator
Beberapa produsen besar, termasuk BYD yang sering disebut sebagai rival Tesla, telah dipanggil oleh regulator bulan lalu untuk mendapatkan peringatan terkait kelebihan kapasitas. Sebuah firma penasihat independen, Hutong Research, menyebut bahwa lembaga pemerintah di Tiongkok kini aktif menjalankan kebijakan pengurangan pasokan sesuai instruksi Presiden Xi.
Di tengah persaingan ketat, konsumen di Tiongkok terbiasa dengan harga yang sangat rendah. Perusahaan-perusahaan otomotif sering kali menurunkan harga hingga mendekati atau bahkan di bawah biaya produksi demi menguasai pasar. Hal ini juga berlaku bagi produsen mobil listrik Tiongkok.
BYD, misalnya, terus menurunkan harga model entry level-nya, Seagull, hingga menjadi 55.800 yuan atau sekitar Rp126,3 juta (kurs Rp2.262), hampir 20 persen lebih rendah dari harga resmi. Great Wall Motors juga menurunkan harga model Ora 3 sekitar 20% dari harga awalnya.
CEO XPeng Motors, He Xiaopeng, memprediksi persaingan akan semakin sengit pada 2025 dan memperingatkan bahwa sebagian produsen tidak akan mampu bertahan.
“Pasar pasti akan melihat persaingan yang lebih sengit pada 2025,” ujar dia.
Undang-Undang Baru Diusulkan, tapi Apakah Cukup?
Sebagai respons terhadap situasi ini, Tiongkok merilis draf amandemen undang-undang tentang penetapan harga, yang merupakan revisi pertama sejak 1998. Amandemen ini bertujuan memperkuat aturan pemerintah untuk menetapkan batas harga, mengidentifikasi “perilaku penetapan harga yang tidak adil,” dan mengendalikan kompetisi “gaya involusi,” termasuk penggunaan dominasi pasar untuk memengaruhi harga dan penjualan massal.
Namun, sejumlah analis pesimis terhadap efektivitas langkah ini, mengingat banyak produsen EV tidak untung dan bergantung pada dukungan pemerintah daerah. Seorang analis senior di Merics, Antonia Hmaidi, mengatakan bahwa ia tidak yakin pemerintah Tiongkok akan melakukan tindakan signifikan karena hingga saat ini belum ada produsen yang benar-benar dihukum akibat investasi berlebihan di sektor prioritas strategis.
Salah satu solusi yang diusulkan adalah memperluas ekspor, meski langkah ini berisiko memicu ketegangan dengan mitra dagang. Eropa, misalnya, sudah memberlakukan tarif hingga 45% untuk mobil listrik buatan Tiongkok.
“Saya pikir dalam jangka pendek, akan ada lebih banyak ketegangan dengan sebagian besar mitra dagangnya,” tambahnya.
Tahun lalu, Uni Eropa mengenakan tarif hingga 45% pada mobil listrik Tiongkok, yang membuat Beijing geram. Meskipun negosiasi belum mencapai titik temu, produsen mobil Tiongkok telah beradaptasi dengan mendorong penjualan kendaraan plug-in hybrid (PHEV) sebagai gantinya. Pada Juni lalu, pangsa pasar perusahaan Tiongkok di Eropa kembali mencapai 10%, persis seperti sebelum diberlakukannya tarif.