
Peningkatan Ekspor Kakao Indonesia yang Mengesankan
Ekspor kakao dan produk olahannya di Indonesia mencatat pertumbuhan yang sangat signifikan, yaitu sebesar 129,86% pada semester I-2025. Angka ini menjadi yang terbesar dibandingkan komoditas nonmigas lainnya, menunjukkan potensi besar dari sektor ini.
Ketua Asosiasi Petani Kakao Indonesia (APKAI), Arief Zamroni, menjelaskan bahwa peningkatan ekspor ini tidak lepas dari beberapa faktor penting. Salah satunya adalah kenaikan harga global yang tergolong anomali, serta penurunan produksi di negara produsen utama dunia. Hal ini membuat pasokan global menjadi lebih ketat, sehingga Indonesia memiliki peluang untuk meningkatkan ekspornya.
Menurut Arief, industri pengolahan kakao di dalam negeri kini lebih cenderung memproses bahan baku setelah menerima pesanan baru, bukan berdasarkan produksi rutin harian. Kondisi ini memengaruhi sirkulasi pasokan dan membuka peluang ekspor yang lebih besar.
“Di Afrika mengalami penurunan produksi yang sangat signifikan, menjadikan alternatif ekspor dari Indonesia menjadi menarik,” ujarnya.
Selain itu, eksportir saat ini bahkan memberikan insentif tambahan di atas harga pelabuhan, yaitu lebih dari 10%. Pasar tujuan seperti Eropa, Jepang, dan Amerika Serikat menunjukkan potensi besar bagi produk kakao Indonesia.
Meski begitu, Arief memperkirakan tren ini tidak akan berlangsung stabil dalam jangka panjang. Setelah pasar komoditas dunia kembali normal, ekspor bisa terkoreksi. Selain itu, pemerintah juga mendorong hilirisasi agar pengolahan kakao lebih banyak dilakukan di dalam negeri. Ke depan, ekspor biji kakao kemungkinan akan berkurang, digantikan oleh produk olahan.
Dampak Tarif Impor AS
Terkait tarif impor 19% yang diberlakukan Amerika Serikat, Arief mengakui bahwa hal ini bisa mempengaruhi daya saing produk kakao Indonesia. Namun, ia menilai pelaku usaha memiliki strategi untuk menyiasatinya, seperti memanfaatkan negara ketiga yang tidak dikenakan tarif untuk pengiriman ke AS.
Dari sisi pasokan, Arief memperkirakan produksi kakao nasional masih berkisar di 200 ribu ton per tahun. Porsi ekspor biji kakao diperkirakan hanya 10%–40-50% dari total produksi, dengan pasar terbesar di Eropa.
Selain itu, pasar domestik juga menyerap cukup besar produksi kakao, terutama untuk industri artisan chocolate seperti yang berkembang di Bali. Artisan ini mengolah cokelat dengan standar internasional dan pasar premium, sehingga berani membeli dengan harga tinggi.
Rencana Pemerintah Terkait Pungutan Ekspor
Mengenai rencana pemerintah menerapkan pungutan ekspor kakao, Arief mengungkapkan bahwa kebijakan tersebut kemungkinan akan mengikuti pola di industri sawit. Biaya pungutan akan dikelola langsung oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan (BPDP) untuk program-program sektor kakao, tanpa melalui mekanisme APBN.
“Intinya, pungutan ini akan dikembalikan langsung ke petani, pedagang, dan industri, misalnya untuk program CSR. Jadi bukan hanya aman, tapi justru membuat sektor kakao lebih bergairah,” tegasnya.
Dengan adanya kebijakan ini, diharapkan sektor kakao Indonesia dapat semakin berkembang dan memberikan manfaat yang lebih besar bagi para pelaku usaha dan petani.