
Efisiensi Anggaran Transfer ke Daerah: Dampak pada Pembangunan dan Otonomi Daerah
Pemerintah pusat melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 56/2025 menetapkan kebijakan efisiensi sejumlah pos anggaran transfer ke daerah (TKD). Langkah ini bertujuan untuk mengoptimalkan penggunaan dana yang dialokasikan kepada pemerintah daerah. Namun, kebijakan tersebut dinilai memiliki dampak signifikan terhadap berbagai sektor pembangunan di tingkat daerah.
Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD), Armand Suparman, menilai bahwa tindakan pemerintah pusat mencadangkan TKD hasil efisiensi dan tidak menyalurkannya ke daerah akan berdampak negatif terhadap belanja modal daerah. Ia menjelaskan bahwa dalam enam bulan terakhir, pemotongan TKD sekitar Rp50 triliun, khususnya pada Dana Alokasi Khusus (DAK) fisik, telah menyebabkan penurunan hingga setengah dari alokasi DAK fisik. Hal ini sangat mengganggu proyek-proyek infrastruktur yang menjadi tanggung jawab daerah.
DAK fisik memiliki peran ganda, yaitu mendorong pemerataan pembangunan dan pencapaian prioritas nasional, serta menjadi penggerak pertumbuhan ekonomi lokal. Pemangkasan anggaran tersebut membuat daerah kehilangan daya dorong untuk menjalankan pembangunan sesuai kebutuhan masing-masing.
Selain infrastruktur, efisiensi belanja juga memengaruhi sektor jasa. Misalnya, larangan penggunaan anggaran untuk kegiatan di hotel berdampak pada industri perhotelan dan restoran di daerah, serta mengurangi penerimaan pajak daerah dari sektor tersebut. Jika aktivitas di hotel dan restoran berkurang, penerimaan dari pajak hotel dan restoran juga turun. Dampaknya bersifat berlapis, baik secara ekonomi maupun sosial.
Kepala Pusat Makroekonomi dan Keuangan Institute for Development of Economics and Finance (Indef), M. Rizal Taufikurahman, menilai bahwa efisiensi TKD melalui penahanan pencairan dana akan berdampak langsung ke keterlambatan proyek infrastruktur daerah, pengurangan belanja modal, dan hilangnya potensi efek pengganda di sektor riil daerah. Daerah dengan ketergantungan tinggi pada TKD seperti daerah tertinggal dan otonomi khusus akan merasakan kontraksi belanja publik yang signifikan.
Dalam jangka pendek, kebijakan ini dapat menekan pertumbuhan ekonomi regional, memperlambat penciptaan lapangan kerja, dan menurunkan daya beli. Dalam jangka panjang, ketertinggalan infrastruktur dan layanan publik bisa semakin lebar antarwilayah.
Berdasarkan Pasal 17 ayat (1) PMK 56/2025, efisiensi TKD diberlakukan terhadap alokasi yang digunakan untuk infrastruktur, dana otonomi khusus (otsus) dan keistimewaan daerah, dana yang belum dirinci per daerah dalam APBN tahun berjalan, hingga alokasi yang tidak digunakan untuk pelayanan dasar di bidang pendidikan dan kesehatan. Kebijakan juga mencakup TKD lain sesuai arahan presiden.
Pasal 17 ayat (4) dan (5) mengatur bahwa dana TKD hasil efisiensi akan dicadangkan dan tidak disalurkan, kecuali terdapat arahan lain dari presiden. Hasil efisiensi TKD dapat berbentuk alokasi per daerah maupun alokasi yang belum dirinci. Dana hasil efisiensi yang dicadangkan akan menjadi dasar penyesuaian rincian alokasi TKD per provinsi/kabupaten/kota atau per bidang, yang kemudian diadopsi dalam APBD masing-masing daerah.
Selain itu, Pasal 19 mengatur mekanisme pergeseran anggaran TKD yang telah dicadangkan ke Subbagian Anggaran Bendahara Umum Negara Belanja Lainnya. Proses ini dilakukan tanpa memerlukan reviu Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP) dan mempertimbangkan kebutuhan anggaran serta karakteristik masing-masing jenis TKD. Pemerintah juga membuka kemungkinan penggunaan dana hasil efisiensi untuk membiayai belanja pegawai, operasional kantor, pelaksanaan tugas dan fungsi dasar, layanan publik, maupun kegiatan prioritas presiden, dengan persetujuan menteri keuangan.
Otonomi Fiskal Daerah Terancam
Lebih lanjut, KPPOD menilai kebijakan PMK 56/2025 akan semakin menekan kemandirian keuangan daerah. Armand mengungkapkan selama ini ruang fiskal daerah sudah sempit akibat mandatory spending yang melebar seperti yang diatur UU 1/2025 dan aturan turunannya. Ia mencontohkan, ketentuan belanja pegawai maksimal 30% dan infrastruktur minimal 40%, serta semakin banyak alokasi yang peruntukannya diatur pusat.
DAU sekarang tidak murni block grant, sudah bercampur specific grant. Ada DAU rasa DAK. Artinya ruang daerah untuk mengalokasikan belanja sesuai persoalan di wilayahnya makin terbatas. Jika begini, otonomi daerah secara fiskal ya hampir tidak ada.
Armand mendorong agar rencana efisiensi anggaran pada tahun-tahun mendatang dibicarakan dalam forum pusat-daerah sebelum penetapan APBN. Dengan demikian, pembangunan dan kebijakan fiskal tetap berpihak pada kepentingan daerah. Ia menilai selama ini keputusan pemotongan TKD bersifat sepihak, tanpa dialog dengan daerah yang terdampak langsung.
Sementara itu, Indef menilai kebijakan pencadangan hasil efisiensi dana TKD sesuai PMK 56/2025 akan menggeser keseimbangan hubungan pusat-daerah ke arah kontrol pusat yang lebih dominan atau tersentralisasi, terutama dalam aspek fiskal. Prinsip desentralisasi fiskal yang seharusnya memberikan keleluasaan daerah dalam mengelola sumber daya menjadi tereduksi ketika alokasi TKD menjadi instrumen cadangan di pusat. Dia khawatir jika pola itu terus berlanjut tanpa reformasi tata kelola TKD berbasis kinerja dan transparansi maka secara de facto otonomi fiskal daerah akan tereduksi menjadi sekadar fungsi administratif, bukan instrumen pembangunan yang mandiri.