
Sidang Eksepsi Terdakwa AG di Pengadilan Negeri Bandung
Pada hari Senin, 11 Agustus 2025, seorang tokoh media di Bandung dengan inisial AG menjalani sidang dengan agenda eksepsi di Pengadilan Negeri Bandung. Sidang ini dipimpin oleh Majelis Hakim yang terdiri dari Dodong Rustandy. AG didakwa atas dugaan tindak pidana pemalsuan surat. Tim penasihat hukumnya, yaitu Hotma Bhaskara E. Nainggolan dan Bobby Herlambang Siregar, menyampaikan eksepsi terhadap dakwaan yang disampaikan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejati Jabar Hasan Nurodin Achmad, SH.
Dalam eksepsi tersebut, tim penasihat hukum menilai bahwa dakwaan JPU tidak jelas dan mengada-ada. Mereka berpendapat bahwa surat dakwaan yang diberikan oleh JPU tidak memenuhi standar hukum yang seharusnya. Menurut mereka, jaksa keliru dalam menafsirkan fakta-fakta dan bukti-bukti hukum, serta tidak menyampaikan secara lengkap informasi penting yang berkaitan dengan perkara ini. Mereka juga menegaskan bahwa jika JPU mempertimbangkan semua fakta secara seksama, maka perkara ini tidak layak untuk didakwakan bahkan dituntut.
Bhaskara menjelaskan bahwa sesuai ketentuan Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman, setiap orang yang disangka, ditangkap, atau dihadapkan di pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sampai ada putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Oleh karena itu, mereka berharap persidangan dapat berjalan dengan baik demi keadilan, dengan tetap memandang bahwa AG adalah tidak bersalah sampai adanya putusan akhir.
Tim penasihat hukum juga memohon kepada Majelis Hakim untuk mempertimbangkan apakah Pengadilan Negeri Kelas IA Bandung memiliki kewenangan untuk mengadili perkara ini. Mereka menilai bahwa sebagian besar dalil dalam dakwaan JPU berkaitan dengan persengketaan perdata antara saksi pelapor dan terdakwa. Sehingga, mereka berpandangan bahwa pokok permasalahan hukum ini lebih cocok diselesaikan melalui peradilan perdata, bukan pidana.
Selain itu, tim penasihat hukum juga meminta agar kualitas dakwaan JPU dinilai cukup untuk menguraikan tindakan yang dilakukan AG serta menguraikan rumusan delik secara lengkap. Mereka menilai bahwa dakwaan JPU tidak memenuhi ketentuan Pasal 143 ayat (2) KUHAP, yang menuntut bahwa surat dakwaan harus jelas, cermat, dan lengkap dalam memuat unsur-unsur tindak pidana yang didakwakan.
AG sendiri menyatakan bahwa ia bukan ahli hukum dan mempercayakan seluruh proses hukum kepada tim pengacaranya. Ia menegaskan bahwa tuduhan pemalsuan surat yang diarahkan kepadanya tidak berdasar. Hasil pemeriksaan Laboratorium Forensik (Labkrim) menunjukkan adanya identitas tanda tangan yang asli pada dokumen yang dipermasalahkan. Dari enam tanda tangan yang ada, empat di antaranya identik dengan tanda tangan asli. AG berargumen bahwa jika empat tanda tangan identik, maka siapa yang membuatnya pasti bukan dirinya.
Menurut AG, dokumen tersebut diterimanya dari seorang notaris melalui kuasa hukumnya, Thomson, pada tahun 2015. Sebagai pembeli, ia mengklaim telah memenuhi kewajiban untuk melakukan pembayaran sesuai kesepakatan. Ia bertanya-tanya, mengapa ia harus di-DP 21 jika tuduhan tersebut sudah jelas terbantahkan.
AG berharap eksepsi yang dibacakan oleh tim penasihat hukumnya diterima oleh majelis hakim. Ia menuduh pihak lain sengaja melemparkan kesalahan kepadanya, sehingga nama baiknya tercemar. Ia merasa menjadi korban fitnah dan menuntut keadilan.
Sebelumnya, AG dihadapkan ke meja hijau oleh JPU Kejati Jabar Hasan Nurodin Achmad, SH., sebagai terdakwa dengan tuduhan dugaan tindak pidana pemalsuan surat atau menyuruh memasukan keterangan palsu kedalam akta otentik, pasal 263 dan pasal 266 KUHP. Dakwaan ini berawal dari transaksi jual beli tanah yang terjadi pada tahun 2015 antara AG dan Djedje Adiwiria (alm), yang dikuatkan dengan Akta PPJB Nomor 07 tanggal 15 April 2015. Objek tanah tersebut terletak di Desa Langensari, Kabupaten Bandung Barat. Nilai jual dalam PPJB senilai Rp.2,5 miliar dengan pembayaran dua kali termin.
Pada 25 Mei 2017, Djedje Adiwiria meninggal dunia, dan pihak ahli warisnya melakukan gugatan terhadap AG, PPAT, PDAM Tirta Wening, dan PT Pesona Alam Maribaya. Dalam gugatan tersebut, AG menyertakan surat pernyataan tanggal 15 April 2015 yang menyatakan bahwa ahli waris Djedje Adiwiria mengetahui dan menyetujui transaksi jual beli tanah. Namun, JPU menyebutkan bahwa surat tersebut bukan produk dari Notaris Dedeh Aminah, SH Sp.N. Kerugian yang dialami ahli waris Djedje senilai Rp.20 miliar juga disebutkan dalam dakwaan.