
Ancaman Asbes yang Masih Menghantui Indonesia
Di tengah upaya global untuk menghilangkan penggunaan asbes, Indonesia masih terjebak dalam situasi yang memprihatinkan. Lebih dari dua dekade setelah Australia melarang seluruh jenis asbes, bahan beracun ini masih menjadi ancaman nyata bagi masyarakat Indonesia. Tidak hanya ditemukan di atap dan dinding bangunan, asbes juga menyebar ke paru-paru ribuan warga yang tidak menyadari bahayanya.
Label Peringatan yang Menjadi Medan Perang
Pada Maret lalu, Mahkamah Agung Indonesia memberikan kemenangan kepada kelompok kesehatan dan hak pekerja dengan memutuskan bahwa produk berbahan asbes harus diberi label peringatan akan risiko kesehatannya. Namun, kemenangan tersebut segera dihadapi oleh tantangan hukum dari pihak industri.
Asosiasi Produsen Semen Fiber (FICMA), yang mewakili industri asbes global dari Rusia, China, dan Kazakhstan, kini menggugat kelompok tersebut. Mereka menuntut kompensasi hingga $520.000 (setara Rp8,4 miliar) per bulan atas kerugian yang mereka klaim akibat kewajiban pelabelan. Selain itu, FICMA juga menuntut denda harian dan permintaan maaf terbuka dari tiga aktivis individu.
FICMA bersikeras bahwa asbes putih (chrysotile) tidak berbahaya. Dalam argumennya di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, mereka menyatakan bahwa chrysotile larut dalam sistem pernapasan dan tidak menetap di paru-paru. Oleh karena itu, menurut mereka, tidak perlu diberi label peringatan.
Namun, klaim ini bertentangan dengan pandangan ilmiah internasional. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) secara tegas menyatakan bahwa semua bentuk asbes, termasuk chrysotile, bersifat karsinogenik dan dapat menyebabkan berbagai jenis kanker seperti mesothelioma, kanker paru, laring, dan ovarium.
Korban Berjatuhan, Tapi Tak Tercatat
Banyak korban asbes yang mengalami dampak nyata dari paparan bahan beracun ini. Siti Kristina, 59 tahun, mulai batuk pada 2009, dua dekade setelah bekerja di pabrik tekstil asbes di Cibinong. Ia tidak pernah diberi informasi mengenai bahaya asbes yang ia olah setiap hari sejak usia 25. Diagnosis asbestosis baru ia terima setelah diperiksa tim medis asing pada 2012.
Tuniyah, mantan pekerja pabrik di Jakarta, juga memiliki cerita serupa. Ia merasa sehat ketika didiagnosis menderita asbestosis, penyakit akibat paparan partikel asbes. Sekarang, di usia 63, ia hanya mampu melakukan pekerjaan rumah tangga ringan. “Paru-paru saya penuh luka. Saya kesulitan bernapas setiap hari,” katanya.
Fakta Tersembunyi di Balik Statistik Resmi
Indonesia adalah pengimpor asbes terbesar ketiga di dunia, setelah India dan China. Setiap tahun, negeri ini mengimpor sekitar 150.000 ton asbes chrysotile, yang sebagian besar digunakan untuk bahan bangunan. 13 persen rumah di Indonesia memiliki atap berbahan chrysotile, bahkan di Jakarta angkanya mencapai 50 persen.
Namun, data resmi pemerintah tidak mencerminkan kenyataan. Dalam beberapa tahun terakhir, data kesehatan nasional mencatat nol kematian akibat asbes dan hanya enam klaim kompensasi. Organisasi internasional seperti Union Aid Abroad menganggap angka ini jauh dari kenyataan. Berdasarkan estimasi beban penyakit global, lebih dari 1.000 orang di Indonesia diperkirakan meninggal setiap tahun akibat paparan asbes—angka yang diprediksi akan meningkat dalam dua dekade mendatang, seiring penggunaan masif dalam 20 tahun terakhir.
Gugatan: Teror Hukum terhadap Aktivis
Gugatan FICMA terhadap tiga aktivis dari LION (Local Initiative for Occupational Safety and Health Network), termasuk Leo Yoga Pranata, menjadi sorotan publik. Mereka dituntut untuk meminta maaf di televisi nasional dan surat kabar, serta menyatakan bahwa chrysotile tidak berbahaya.
Leo menyebut tuntutan ini sebagai bentuk intimidasi hukum. “Kami digugat dengan jumlah uang yang fantastis dan tidak masuk akal. Ini membuat orang takut untuk bersuara di masa depan,” katanya. Ia menilai kasus ini berpotensi menciptakan efek jera bagi siapa pun yang mengkritik industri berbahaya.
Muhammad Darisman dari Jaringan Pelarangan Asbes Indonesia (INABAN) menegaskan: “Yang mereka perjuangkan adalah keuntungan, bukan kesehatan publik.”
Kontras Kesenjangan Perlindungan
Australia, bersama 72 negara lainnya, telah melarang semua jenis asbes. Di sana, pekerja menangani material ini dengan perlindungan penuh, termasuk hazmat suit. “Di sini, pekerja menangani asbes sambil merokok. Apakah paru-paru kita lebih kuat? Tidak,” sindir Darisman.
Sementara itu, Australia, melalui Asbestos and Silica Safety and Eradication Agency, terus mendorong negara-negara Asia Tenggara—termasuk Indonesia, Vietnam, dan Laos—untuk meninggalkan penggunaan asbes sepenuhnya.
“Banyak negara tak menyadari bahayanya hingga puluhan tahun kemudian,” kata Phillip Hazelton dari Union Aid Abroad. “Indonesia harus bertindak sebelum terlambat.”