
Dukungan untuk Memasukkan Tragedi Jumat Kelabu dalam Buku Sejarah Nasional
Tragedi Jumat Kelabu yang terjadi pada 23 Mei 1997 di Banjarmasin kembali menjadi perhatian setelah usulan agar peristiwa tersebut dimasukkan ke dalam revisi Buku Sejarah Indonesia mendapat dukungan dari kalangan akademisi dan sejarawan. Peristiwa ini tidak hanya berdampak lokal, tetapi juga memiliki implikasi yang luas secara nasional.
Dosen Sejarah dari UIN Antasari Banjarmasin, Mursalin, menekankan bahwa tragedi berdarah tersebut merupakan salah satu momen awal yang memicu runtuhnya rezim Orde Baru. Menurutnya, peristiwa Jumat Kelabu menjadi awal dari perubahan besar yang terjadi di Indonesia. “Peristiwa Jumat Kelabu memang berdampak luas secara nasional, karena peristiwa itu mengawali lengsernya Orde Baru,” ujarnya saat diwawancarai.
Mursalin menyebutkan bahwa ia pernah berbincang langsung dengan penyintas tragedi tersebut. Dari perspektif mereka, kerusuhan yang meledak di hari terakhir kampanye Pemilu 1997 bukan sekadar letupan spontanitas. Ia menilai, peristiwa tersebut diduga bagian dari agenda yang disengaja. “Menurut kacamata korban, ini seperti agenda yang disengaja. Tujuannya adalah memang amarah besar masyarakat kepada partai pemerintah. Tapi mereka tidak menyangka akan menimbulkan korban jiwa sebesar itu,” tambahnya.
Karena itu, Mursalin menilai bahwa tragedi Jumat Kelabu sangat layak dicatat sebagai bagian dari sejarah nasional Indonesia. Ia menegaskan pentingnya mengangkat kembali peristiwa ini agar tidak terlupakan dalam catatan sejarah.
Sebelumnya, usulan tersebut secara tersirat disampaikan saat diskusi publik draft penulisan Buku Sejarah Indonesia yang digelar di General Building Lecture Theatre Universitas Lambung Mangkurat (ULM), Banjarmasin, pada Senin (28/7/2025). Plt Sekretaris Badan Kesbangpol Kota Banjarmasin, Zulfaisal Putra, yang menjadi salah satu peserta, menyoroti pentingnya mengangkat kembali peristiwa kerusuhan tersebut.
“Kami mohon kasus-kasus kerusuhan jangan sampai terlupakan. Kerusuhan 23 Mei 1997 itu memakan ribuan korban, dan hingga kini belum pernah diusut tuntas oleh Komnas HAM. Siapa dalangnya, siapa yang bertanggung jawab,” ujar Zulfaisal.
Menurutnya, jika peristiwa kerusuhan Sampit yang terjadi di Kalimantan Tengah bisa dimuat dalam buku sejarah nasional, maka tragedi Jumat Kelabu di Banjarmasin juga layak mendapat tempat serupa. “Banjarmasin waktu itu lumpuh total. Peristiwanya setahun sebelum kerusuhan besar di Jakarta,” tambahnya.
Zulfaisal menekankan bahwa peristiwa Jumat Kelabu harus dipertimbangkan sebagai bagian dari sejarah nasional. Ia menilai bahwa penghapusan informasi tentang peristiwa tersebut dapat menghilangkan pelajaran penting bagi generasi mendatang. Oleh karena itu, ia berharap agar seluruh fakta dan dampak dari peristiwa ini dapat dituangkan dalam Buku Sejarah Indonesia.
Selain itu, Zulfaisal juga menyoroti perlunya investigasi lebih lanjut terhadap peristiwa tersebut. “Masih ada banyak pertanyaan yang belum terjawab, termasuk siapa yang bertanggung jawab atas kerusuhan tersebut. Ini penting untuk memberikan keadilan bagi para korban dan keluarga mereka,” katanya.
Dengan adanya dukungan dari akademisi dan tokoh masyarakat, harapan besar terpasang bahwa peristiwa Jumat Kelabu akan dikenang sebagai bagian tak terpisahkan dari sejarah Indonesia. Hal ini tidak hanya penting untuk memperkaya narasi sejarah, tetapi juga untuk memastikan bahwa pelajaran dari masa lalu tidak terlupakan.