Nasional Kekuatan Lunak Diplomasi Indonesia di Forum Multilateral

Kekuatan Lunak Diplomasi Indonesia di Forum Multilateral

20
0

Penurunan Kemiskinan Ekstrem di Indonesia: Tanda Awal Kesejahteraan Inklusif

Di tengah berbagai tantangan global dan krisis pangan yang terus berlangsung, kabar baik dari Indonesia patut mendapat perhatian. Laporan Badan Pusat Statistik (BPS) pada Maret 2025 menunjukkan bahwa jumlah penduduk miskin ekstrem di Indonesia mengalami penurunan signifikan. Angka ini turun menjadi 2,38 juta jiwa, atau sekitar 0,85 persen dari total populasi. Ini adalah indikasi bahwa upaya pemerintah dalam membangun kesejahteraan inklusif mulai menunjukkan hasil nyata.

Pencapaian ini bukan sekadar angka statistik, melainkan cerminan dari kerja keras bangsa untuk menciptakan keadilan sosial. Seperti kata bijak, “Air beriak tanda tak dalam, orang bijak tanda tak sombong.” Meskipun ada kemajuan, kita harus tetap rendah hati dan tidak puas dengan capaian saat ini. Masih ada 2,38 juta jiwa yang hidup dalam kondisi rentan, dan mereka menjadi pengingat bahwa perjuangan menuju keadilan sosial masih panjang.

Data BPS juga menunjukkan tren penurunan yang konsisten. Dari 2,78 juta orang (0,99%) pada September 2024 menjadi 2,38 juta orang (0,85%) pada Maret 2025. Bahkan dibandingkan dengan Maret 2024, penurunannya lebih tajam lagi, yaitu sebesar 1,18 juta orang. Standar yang digunakan adalah pengeluaran di bawah 2,15 dolar Amerika per hari berdasarkan daya beli 2017.

Selain itu, rasio gini nasional juga menunjukkan penurunan. Pada Maret 2025, rasio gini tercatat sebesar 0,375, turun dari 0,381 pada September 2024. Namun, ada ironi dalam data ini. Ketimpangan di kota-kota besar masih tinggi, dengan rasio gini mencapai 0,395, sedangkan di daerah pedesaan hanya 0,299. Hal ini menunjukkan bahwa kota-kota besar masih menjadi pusat ketimpangan sosial.

Relevansi bagi Kebijakan Luar Negeri dan Diplomasi

Data ini memiliki makna yang lebih luas daripada sekadar pencapaian domestik. Dunia kini menilai kredibilitas sebuah negara tidak hanya dari pertumbuhan ekonomi atau kapabilitas militer, tetapi juga dari keberhasilannya mengangkat rakyatnya keluar dari kemiskinan ekstrem. Laporan ini menjadi bagian dari reputasi Indonesia di dunia internasional, termasuk dalam forum G20 dan Sidang Umum PBB.

Indonesia sering mengadvokasi kesetaraan pembangunan di negara-negara Selatan Global. Dengan bukti nyata penurunan kemiskinan ekstrem, Indonesia bisa berbicara sebagai pelaku, bukan hanya sebagai pengamat. Hal ini memperkuat posisi kita dalam kerja sama di ASEAN dan OKI, serta memberi dasar moral saat menyuarakan keadilan bagi rakyat Palestina, Rohingya, dan komunitas lainnya.

Permasalahan Klasik Kota Besar yang Belum Terselesaikan

Meski angka nasional menunjukkan peningkatan, ketimpangan di kota-kota besar masih menjadi masalah serius. Kota-kota besar adalah pusat ekonomi sekaligus titik rapuh. Ketika jurang antara kaya dan miskin semakin lebar, stabilitas sosial dan politik ikut terancam. Pemerintah pusat dan daerah perlu mengarahkan program perlindungan sosial yang lebih adaptif, seperti hunian terjangkau, akses transportasi publik, dan peluang kerja layak.

Dalam konteks diplomasi ekonomi, keberhasilan menekan kemiskinan ekstrem juga menjadi modal untuk menarik investasi yang inklusif. Investor global semakin menilai kesenjangan sosial sebagai indikator risiko. Indonesia yang mampu mengendalikan ketimpangan akan dipandang lebih stabil dan berdaya saing.

Momentum untuk Narasi Besar Indonesia

Penurunan kemiskinan ekstrem ini bukan akhir dari cerita. Masih ada dua juta lebih warga yang hidup dalam kondisi rentan. Namun, pencapaian ini memberi momentum untuk membangun narasi besar Indonesia sebagai bangsa yang bangkit dari berbagai krisis seperti pandemi, inflasi global, hingga dinamika geopolitik.

Di tengah dunia yang terbelah oleh perang dan rivalitas blok, Indonesia dapat menawarkan kisah lain: kisah transformasi sosial-ekonomi yang berpihak pada kemanusiaan. Inilah diplomasi yang kuat, bukan sekadar pidato di forum dunia, tetapi teladan nyata dari rumah kita sendiri.

Pencapaian ini merefleksikan paradigma baru diplomasi Indonesia yang tidak lagi bertumpu pada retorika semata, melainkan pada prestasi konkret pembangunan sosial. Penurunan kemiskinan ekstrem dari 0,99% menjadi 0,85% dalam enam bulan menunjukkan efektivitas kebijakan perlindungan sosial yang terukur dan berbasis data.

Namun, paradoks urban-rural dalam ketimpangan (rasio Gini kota 0,395 vs desa 0,299) mengungkap tantangan struktural yang memerlukan pendekatan kebijakan yang lebih sophisticated. Fenomena ini mencerminkan urbanisasi yang tidak diimbangi dengan distribusi kesempatan ekonomi yang merata, sebuah masalah klasik negara berkembang yang sedang bertransformasi.

Dari perspektif diplomasi publik, pencapaian ini memperkuat soft power Indonesia di forum multilateral. Ketika negara-negara maju menghadapi stagnasi ekonomi dan polarisasi sosial, Indonesia hadir dengan narasi alternatif tentang inclusive growth yang dapat menjadi model bagi Global South. Hal ini sejalan dengan visi Indonesia sebagai middle power yang berupaya membangun tatanan global yang lebih berkeadilan.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini