
Tradisi Jamasan Arca Totok Kerot Kembali Digelar di Kabupaten Kediri
Arca Totok Kerot, yang dikenal sebagai salah satu ikon budaya dan sejarah di Kabupaten Kediri, kembali menjadi pusat perhatian masyarakat setelah digelarnya prosesi jamasan atau pembersihan. Acara ini berlangsung pada Kamis (24/7/2025) di Taman Totok Kerot, yang terletak di Jalan Totok Kerot, Desa Bulupasar, Kecamatan Pagu, Kabupaten Kediri.
Prosesi jamasan bukan hanya sekadar ritual pembersihan fisik arca, tetapi juga sebuah upaya pelestarian budaya yang mengandung nilai sejarah dan moral yang dalam. Acara ini diinisiasi oleh komunitas juru pelihara cagar budaya (jupel) Kabupaten Kediri bekerja sama dengan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan setempat.
Kepala Bidang Sejarah dan Kepurbakalaan (Jakala) Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Kediri, Eko Priatno Triwarso, menjelaskan bahwa kegiatan ini bertujuan untuk memperkenalkan nilai-nilai budaya dan legenda yang terkait dengan arca Totok Kerot kepada masyarakat luas. Ia menambahkan bahwa kegiatan ini merupakan inisiatif dari komunitas jupel yang terdiri dari 19 orang di tingkat kabupaten dan dua orang dari provinsi.
“Tujuan utama kami adalah menghidupkan kembali tradisi pelestarian budaya, khususnya di bulan Suro, agar nilai-nilai budaya tidak hilang ditelan waktu,” ujarnya.
Menurut Eko, arca Totok Kerot tidak hanya menjadi peninggalan sejarah, tetapi juga menyimpan pesan moral yang penting. Legenda Totok Kerot mengajarkan pentingnya sopan santun dalam kehidupan bermasyarakat. Dalam kisah rakyat, Totok Kerot digambarkan sebagai putri Lodaya dari Selatan yang melamar Sri Aji Joyoboyo. Namun, karena sikapnya dianggap tidak santun, ia dikutuk menjadi batu.
Pesan moral ini terus diingatkan kepada generasi muda melalui kegiatan budaya seperti jamasan. “Secara arkeologi, nama Dwarapala merujuk pada laki-laki, namun secara kebudayaan kita menghargai hal tersebut karena menjadi bagian penting dalam kehidupan berbudaya masyarakat,” tambahnya.
Ritual jamasan Totok Kerot sempat terhenti selama masa pandemi Covid-19, namun kini kembali digelar berkat dukungan penuh dari Dinas Pariwisata dan Kebudayaan. Kehadiran tradisi ini diharapkan dapat meningkatkan rasa cinta terhadap budaya dan sejarah di tengah masyarakat.
“Momentum ini sangat baik untuk mengenalkan warisan budaya kepada generasi muda. Arca Totok Kerot tidak hanya bernilai sejarah, tetapi juga mengajarkan filosofi hidup yang luhur,” pungkas Eko.
Prosesi Jamasan dan Makna Simbolisnya
Koordinator juru pelihara se-Kabupaten Kediri, Edris, menjelaskan bahwa prosesi jamasan tahun ini digelar bertepatan dengan malam Jumat Pon di bulan Suro, sekaligus penutupan akhir bulan yang jatuh pada 25 Juli 2025 besok. Air yang digunakan untuk jamasan berasal dari tujuh sumber mata air, antara lain Sumber Bendo, Sumber Tengger/Kemanten Wonorejo, Menang Kendung, Sumberejo, dan Sendang Tirtokamandanu.
Angka tujuh dalam prosesi ini melambangkan pitulungan atau pertolongan. Edris menekankan bahwa penggunaan bunga melati dalam prosesi siraman bertujuan sebagai pewangi alami. “Bunga melati ini hanya simbol wangi-wangian. Tidak ada kaitan dengan tujuh rupa atau pancawarna, karena fokusnya adalah pensucian,” lanjutnya.
Prosesi jamasan ini tidak hanya menjadi bentuk penghormatan terhadap arca Totok Kerot, tetapi juga menjadi ajang edukasi bagi masyarakat, khususnya generasi muda, tentang pentingnya menjaga nilai-nilai budaya dan sejarah. Dengan adanya tradisi ini, diharapkan masyarakat semakin sadar akan kekayaan budaya yang dimiliki daerahnya.