Nasional Hidup Tenang di Tahun Ajaran Baru

Hidup Tenang di Tahun Ajaran Baru

37
0

Momen Awal Tahun Ajaran Baru dan Harapan untuk Pendidikan yang Lebih Bermakna

Momen awal tahun ajaran baru sering kali menjadi momen yang dinantikan oleh siswa, orang tua, maupun guru. Namun, di balik euforia tersebut, ada berbagai tantangan dan permasalahan yang muncul, baik dalam proses penerimaan siswa baru, penentuan seragam, hingga tuntutan pembelajaran yang terus berkembang. Hari-hari pertama memasuki tahun ajaran baru seharusnya menjadi titik awal dari proses pembelajaran selama setahun ke depan.

Harapan besar diarahkan pada mekanisme pembelajaran yang lebih bermakna dan efektif. Dalam konteks ini, penting bagi semua pihak untuk memperhatikan esensi pendidikan yang sebenarnya, bukan hanya sekadar ritual formalitas. Pada saat yang sama, awal tahun ajaran baru juga jatuh pada periode awal tahun Hijriah, yang memberikan semangat kesucian dan refleksi terhadap nilai-nilai spiritual dalam pendidikan.

Namun, konsekuensi dari keberadaan tahun ajaran baru seringkali dianggap sebagai sekadar ritual tanpa menyentuh inti pencerdasan. Oleh karena itu, awal tahun ajaran baru harus dijadikan sebagai titik awal pembelajaran yang berkelanjutan dan bermakna. Di tengah kondisi ini, aksesibilitas pendidikan dan keterjangkauannya menjadi isu penting. Banyak masyarakat menghadapi keterbatasan finansial dalam mengakses pendidikan yang berkualitas.

Pertanyaan yang muncul adalah bagaimana memposisikan keberadaan tahun ajaran baru dalam pemberdayaan pendidikan secara utuh? Pembelajaran tatap muka, yang selama ini dirindukan oleh berbagai pihak, tampaknya telah menjadi simbol utama dari pengalaman pendidikan yang nyata. Sekolah tidak hanya menjadi tempat belajar, tetapi juga menjadi pusat interaksi sosial dan pengembangan karakter.

Buku “Sekolah Itu Candu” karya Roem Topatimasang menunjukkan bahwa sekolah memiliki daya tarik yang sangat kuat, bahkan sampai membuat peserta didik lupa akan lingkungan sosial di sekitarnya. Hal ini mencerminkan bahwa masyarakat Indonesia sudah sangat terpengaruh oleh sistem pendidikan yang terlalu berfokus pada sekolah sebagai satu-satunya sumber ilmu.

Definisi sekolah dari etimologi Yunani, yaitu “skhole” atau “scola”, merujuk pada waktu luang untuk belajar. Namun, dalam konteks pascapandemi, sekolah seharusnya hadir dalam segala aspek kehidupan sehari-hari, bukan hanya dalam bentuk formal. Publik masih terkejut dengan penyelenggaraan sekolah yang terlalu formal dan membatasi kebebasan belajar. Ketika pandemi datang, masalah formalitas sekolah mulai terlihat jelas.

Hakikat pendidikan utama seharusnya dilakukan oleh orang tua, dengan sepenuh hati mengajarkan dan menanamkan nilai-nilai kehidupan kepada anak-anak mereka. Namun, mekanisme pasrah bongkokan sering kali membuat orang tua merasa “terpenjara” oleh kebijakan pendidikan yang tidak sesuai dengan harapan.

Pesona sekolah menjadikan arah penyelenggaraan pendidikan bergerak menuju pola yang menghabiskan seluruh waktu siswa dalam pendidikan formal. Dalam konteks sosiologis, sekolah seharusnya menjadi stimulus budaya yang relevan dengan kebutuhan masyarakat, bukan sekadar penggiring opini kebenaran absolut.

Perspektif cerdas menyatakan bahwa sekolah bukanlah segalanya dalam membentuk karakter bangsa. Persepsi ini perlu dikoreksi agar semua pihak dapat melihat proporsionalitas peran dalam pendidikan. Proporsionalitas pendidikan ini menjadi kunci dalam menyelesaikan permasalahan yang terjadi, bukan hanya sekadar memaksakan satu pola pembelajaran.

Pembumian pembelajaran merupakan keharusan dalam pembudayaan baru, sehingga sekolah tidak lagi menjadi satu-satunya wadah pendidikan. Libatan aktif seluruh komponen pendukung pendidikan menjadi tugas bersama. Pemaksaan salah satu komponen dalam pola pembelajaran justru bisa menumpulkan nalar sosial pelaku pembelajaran.

Proporsionalitas peran antara orang tua dan sekolah sangat penting dalam menjaga hubungan yang seimbang. Orang tua perlu terlibat aktif dalam proses pembelajaran, seperti kerja sama yang memadai sebagai implementasi pembelajaran bersama. Langkah konkret ini secara tidak langsung akan membelajarkan orang tua tentang hakikat pembelajaran sebagai proses sinergis dan berkelanjutan.

Pendidikan sebagai usaha sadar manusia untuk kebermaknaan hidup harus memperhatikan bagaimana manusia itu sendiri melaksanakannya. Mainstream pendidikan saat ini masih simpang siur, dengan pola yang cenderung bias. Kontrol sosial pada sekolah lebih banyak berupa mekanisme balas dendam daripada upaya memperbaiki kualitas pendidikan.

Neil Postman dalam bukunya “The End of Education” menyoroti bahwa sekolah sering kali jumud dalam menghadapi perkembangan. Kebaruan dan pencerahan sering kali terabaikan. Orang tua menganggap sekolah sebagai bengkel, sementara publik berharap sekolah indah, namun kurang memperhatikan aspek edukatifnya.

Publik lebih rentan terhadap masalah bangunan sekolah yang mengganggu kenyamanan lingkungan, sementara orang tua sering mengkritik biaya pendidikan yang tinggi. Pertemuan orang tua di sekolah sering dianggap sebagai upaya penarikan dana, sehingga ketika ada masalah, mereka langsung memviralkan informasi tersebut.

Pelurusan mainstream pendidikan mutlak diperlukan, karena kebijakan pendidikan yang ambiguitas akan sulit diimplementasikan. Sekolah membumi menjadi tuntutan di tengah berbagai permasalahan sosial yang ada. Sekolah sebagai salah satu pola pembelajaran tidak cukup untuk menyelesaikan masalah pendidikan tanpa adanya kesadaran bersama dalam mengelola pendidikan secara konstruktif.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini