Pengambilan Keputusan Mahkamah Konstitusi Terkait Pemilu Nasional dan Daerah
Mahkamah Konstitusi (MK) mengambil keputusan penting terkait pelaksanaan pemilihan umum (Pemilu) nasional dan daerah. Putusan tersebut akan berlaku mulai tahun 2029. Dalam putusan MK Nomor 135/PUU-XXII/2024, yang diajukan oleh Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), disebutkan bahwa pemilu nasional hanya akan digelar untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), serta presiden dan wakil presiden. Sementara itu, pemilihan anggota DPRD tingkat provinsi dan kabupaten/kota akan dilakukan bersamaan dengan pemilihan kepala daerah (Pilkada).
Wakil Ketua MK, Saldi Isra, menjelaskan bahwa pembentuk undang-undang belum melakukan revisi terhadap Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) sejak Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 55/PUU-XVII/2019. MK melihat bahwa DPR maupun pemerintah sedang mempersiapkan upaya untuk melakukan reformasi terhadap semua undang-undang yang terkait dengan Pemilu.
“Kami menegaskan bahwa semua model penyelenggaraan pemilihan umum, termasuk pemilihan gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, dan walikota/wakil walikota yang telah dilaksanakan selama ini tetap konstitusional,” ujar Saldi dalam acara Ruang Sidang Pleno MK di Jakarta.
Tanggapan dari Komisi Pemilihan Umum
Meski ada pro dan kontra terhadap putusan MK, KPU menyambut baik keputusan tersebut karena dianggap dapat mengurangi beban kerja penyelenggara. Ketua KPU RI M Afifuddin mengatakan bahwa model pemilu nasional-lokal yang diatur dalam putusan MK lebih meringankan beban kerja penyelenggara.
Afifuddin menjelaskan bahwa dalam evaluasi penyelenggaraan Pemilu Serentak 2024, beban kerja penyelenggara sangat besar dan waktu pelaksanaan sangat padat. Untuk pemilu nasional saja, minimal diperlukan waktu 20 bulan untuk tahapan awal pemilu. Hal ini membuat penyelenggara harus menyiapkan pemilihan kepala daerah serentak, meskipun pemilu presiden, wakil presiden, dan legislatif belum dimulai.
Protes dari Partai Politik
Tidak semua partai politik merespons positif putusan MK. Partai Nasdem secara tegas menyatakan bahwa putusan MK dianggap inkonstitusional dan mencuri kedaulatan rakyat. Lestari Moerdijat, anggota Majelis Tinggi Partai Nasdem, menyampaikan sepuluh poin keberatannya terhadap putusan tersebut. Salah satunya, Nasdem menilai MK telah memasuki kewenangan legislatif dengan menciptakan norma baru yang seharusnya menjadi domain DPR dan pemerintah.
Selain Nasdem, Golkar juga menyampaikan sikap negatif terhadap putusan MK. Adies Kadir menilai putusan MK berpotensi mengganggu jalannya pemerintahan serta memunculkan ketidakpastian hukum. Menurutnya, pasal-pasal UUD 1945 menyatakan bahwa pemilu anggota DPR, DPD, dan DPRD merupakan satu rezim yang harus dilaksanakan setiap lima tahun.
Sementara itu, Wakil Ketua Umum PKB Cucun Ahmad Syamsurijal menyebut MK telah melampaui batas konstitusional dengan memutuskan pemilu dipisah. Ia memperingatkan dampak dari masa transisi panjang akibat pemisahan jadwal pemilu terhadap jalannya pemerintahan.
Persiapan Sikap Resmi dari PDI-P
PDI-P sebagai partai terbesar di DPR masih merumuskan sikap resminya terkait putusan MK tersebut. Wakil Ketua Komisi II DPR dari Fraksi PDI-P Aria Bima mengatakan bahwa partainya kini sedang melakukan kajian mendalam. “PDI Perjuangan hari ini baru akan rapat menyikapi hal tersebut,” ujar Aria Bima.



