
KPK Khawatir RKUHAP Mengurangi Kewenangan dan Fungsi Lembaga
Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Setyo Budiyanto, menyampaikan kekhawatiran terkait penyusunan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP). Ia menilai bahwa RKUHAP dapat mengurangi kewenangan dan fungsi lembaga antirasuah. Menurutnya, proses penyusunan RKUHAP harus dilakukan secara transparan dan melibatkan banyak pihak untuk memastikan keadilan hukum yang menyeluruh.
“Prinsipnya, KPK berharap bahwa proses RUU KUHAP ini disusun secara terbuka. Artinya, terbuka itu ya transparan, semua bisa dilibatkan, ada partisipatif dari banyak pihak. Sehingga bisa melihat pembuatan daripada RUU KUHAP itu memiliki semangat untuk membangun proses hukum yang bermanfaat, berkeadilan bagi seluruh masyarakat,” ujar Setyo di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Kamis (17/7) malam.
Menurut Setyo, beberapa potensi dalam draf RKUHAP dinilai dapat memengaruhi atau bahkan mengurangi kewenangan, tugas, dan fungsi KPK sebagai lembaga independen. Ia menekankan pentingnya menjaga fleksibilitas kewenangan KPK dalam melakukan pencegahan, pendidikan, hingga penindakan korupsi.
Oleh karena itu, KPK telah aktif menjalin komunikasi dengan Kementerian Hukum serta menggelar diskusi dengan para pakar untuk membedah dampak dari draf RKUHAP tersebut. Selain itu, pimpinan KPK berlatar belakang Polri itu juga menyoroti ketentuan terkait upaya paksa yang dikhawatirkan akan dibatasi atau dikendalikan oleh pihak lain.
“Upaya paksa ini jangan sampai kemudian ini harus berkurang, atau mungkin harus dikoordinir oleh pihak-pihak lain,” lanjut Setyo.
Setyo juga mengingatkan agar sinkronisasi antara RKUHAP serta ketentuan peralihannya tidak menimbulkan multitafsir dan ketidakpastian hukum. Sebab, RKUHAP yang disusun akan berdampak panjang pada penguatan hukum nasional.
“Jangan sampai nanti, kami berharap, khususnya kepada Panja, kemudian kepada pemerintah, antara batang tubuh dengan ketentuan peralihan, ini enggak sinkron. Batang tubuhnya mengatur, tapi kemudian ketentuan peralihannya menyebutkan disesuaikan. Kalau seperti ini tentu nanti akan menimbulkan sesuatu yang bias, tidak ada sebuah kepastian,” tegasnya.
Sebelumnya, juru bicara KPK Budi Prasetyo menyampaikan kekhawatirannya terhadap sejumlah ketentuan dalam RKUHAP yang tengah dibahas Komisi III DPR. Bahkan, terdapat 17 poin yang dinilai berpotensi melemahkan KPK dalam kerja pemberantasan korupsi. Temuan ini setelah KPK melakukan diskusi bersama para pakar terkait RKUHAP. KPK juga berencana menyampaikan hasil kajian ini secara resmi kepada Presiden RI dan DPR RI.
“Dalam perkembangan diskusi di internal KPK setidaknya ada 17 poin yang menjadi catatan dan ini masih terus kami diskusikan dan tentu nanti hasilnya juga akan kami sampaikan kepada Bapak Presiden dan DPR sebagai masukan terkait dengan rancangan undang-undang hukum acara pidana tersebut,” ucap Budi di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Rabu (16/7).
Beberapa ketentuan dalam RKUHAP yang sedang digodok Komisi III DPR dikhawatirkan akan mereduksi kewenangan KPK dalam menangani tindak pidana korupsi yang dikategorikan sebagai extraordinary crime. Budi menegaskan bahwa korupsi sebagai extraordinary crime membutuhkan upaya-upaya hukum yang khusus.
Berikut adalah 17 poin RKUHAP yang dikhawatirkan menghambat kinerja KPK:
- Potensi konflik antara UU KPK dan RKUHAP terkait kewenangan penyelidik dan penyidik serta hukum acara khusus, terutama Pasal 329 dan 330.
- Penanganan perkara KPK hanya dapat diselesaikan dengan KUHAP.
- Penyelidik KPK tidak diakui dalam RKUHAP, hanya Polri yang diakomodir.
- Definisi penyelidikan dibatasi, tidak sesuai dengan praktik KPK yang membutuhkan dua alat bukti sejak tahap ini.
- Keterangan saksi sebagai alat bukti hanya diakui pada tahap penyidikan, penuntutan, dan persidangan.
- Penetapan tersangka dibatasi hanya setelah penyidik memperoleh dua alat bukti, tanpa fleksibilitas.
- Penghentian penyidikan wajib melibatkan Penyidik Polri, berpotensi menimbulkan intervensi.
- Penyerahan berkas perkara harus melalui Penyidik Polri, mengurangi independensi KPK.
- Penggeledahan harus didampingi Penyidik Polri dari wilayah hukum setempat.
- Penyitaan harus melalui izin Ketua PN, memperpanjang proses.
- Penyadapan tidak diatur secara khusus.
- Larangan bepergian hanya berlaku bagi tersangka, membatasi pencegahan pelarian sejak awal.
- Pokok perkara TKP tidak dapat disidangkan selama praperadilan, berpotensi menghambat penuntutan.
- Kewenangan koneksitas KPK tidak diakomodasi, padahal ini penting dalam kasus korupsi lintas sektor.
- Perlindungan saksi/pelapor hanya oleh LPSK, mengurangi fleksibilitas perlindungan internal KPK.
- Penuntutan di luar daerah hukum harus dengan penunjukan jaksa oleh Jaksa Agung, menambah birokrasi.
- Penuntut umum dibatasi hanya dari Kejaksaan RI dan lembaga dengan UU khusus, berpotensi menyingkirkan kewenangan jaksa internal KPK.