Sosial Budaya Ritual Sasana Kayau Suku Dayak: Melestarikan Kenangan Melalui Sastra Lisan

Ritual Sasana Kayau Suku Dayak: Melestarikan Kenangan Melalui Sastra Lisan

10
0

Warisan Budaya yang Hidup dalam Suara dan Ingatan

Sasana Kayau adalah bentuk sastra lisan yang menyimpan sejarah, nilai, dan pengetahuan leluhur dari Suku Dayak Katingan. Ia bukan sekadar nyanyian, melainkan bentuk kecerdasan kultural yang hidup dan bervibrasi di hilir Sungai Katingan, Kalimantan Tengah. Dalam sebuah kompleks pemakaman di Kalimantan Tengah pada Februari 2019, saya menyaksikan bagaimana seorang laki-laki duduk bersila dikelilingi belasan orang. Ia menutup matanya, lalu mulai menuturkan bait demi bait Sasana Kayau, sebuah nyanyian sakral yang tidak ditulis di atas kertas, tidak diajarkan lewat buku, dan tidak direkam oleh teknologi apa pun, kecuali tubuh manusia dan ingatan leluhur.

Bayangkan ada orang-orang yang mampu menyanyikan ratusan bait dalam satu malam tanpa teks, notasi, ataupun bantuan alat tulis. Sementara kita bahkan lupa nama lengkap teman lama atau harus googling untuk mengingat suatu informasi. Di tengah gelombang digitalisasi dan algoritma yang perlahan menggerus memori tubuh dan kolektif, komunitas Suku Dayak Katingan Awa mempertahankan Sasana Kayau sebagai ritual lisan dan suara pengetahuan.

Apa Itu Sasana Kayau?

Berdasarkan penelitian saya di Desa Tumbang Panggu, Kalimantan Tengah, tahun 2019, “Sasana” secara harfiah berarti cerita. Sementara “Kayau”, dalam beberapa tafsir, kerap dikaitkan dengan praktik perburuan kepala Suku Dayak di masa lampau. Namun, masyarakat Katingan Awa menolak tafsir itu. Sasmito, salah satu warga Desa Tumbang Panggu, menjelaskan:

“Istilah lengkapnya adalah Sasana Kayau Pulang, yaitu kisah dua saudara, leluhur Desa Tumbang Panggu bernama Kayau dan Pulang yang dipercaya berasal dari wilayah Sungai Tamiang yang sekarang ada di Desa Tumbang Panggu.”

Nyanyian ini bukan narasi sembarangan. Indu Er, seorang penutur senior Sasana Kayau, mengatakan:

“Untuk menyanyikan Sasana Kayau Pulang, seseorang harus menyebut nama lengkap kisahnya, melakukan ritual permohonan izin kepada leluhur, dan menuturkan kisahnya selama tiga malam berturut-turut.”

Jika tidak, kepercayaan setempat menyebut bahwa penyanyi bisa tertimpa tulah—kutukan dari roh leluhur yang tak merestui. Untuk keperluan penelitian, saya meminta Indu Er menyanyikan Sasana Kayau Pulang. Ia menolak dengan halus karena takut terkena tulah. Ia hanya mau menyanyikannya jika seluruh ritual dipenuhi, termasuk persembahan dan waktu yang tepat.

Lebih dari Sekadar Sastra Lisan

Dalam penelitian saya, saya menyaksikan langsung bagaimana Sasana Kayau berfungsi sebagai medium “penyembuhan.” Salah satu momen yang membekas adalah ketika Pak Betut dari Desa Talangkah menyanyikan Sasana Kayau di depan makam keponakannya yang meninggal karena tenggelam pada hari sebelumnya. Syair itu ia gubah secara spontan, ditujukan khusus kepada arwah sang keponakan. Dalam bait-baitnya, Pak Betut menyebut keponakannya sebagai “satu set gandang ahung yang nadanya tak bisa sumbang.”

Pertunjukan ini bukan tontonan tapi komunikasi dengan dunia arwah, bentuk terapi kolektif, dan upacara duka yang melampaui kata-kata. Banyak anggota keluarga yang menangis, bukan hanya karena kata-katanya, tetapi juga karena bagaimana kata itu dinyanyikan dalam bahasa khusus Sasana Kayau—yang mengingatkan mereka pada suara-suara leluhur.

Rentan Ditelan Zaman?

Beberapa pelantun Sasana Kayau yang saya temui, seperti Babak dari Desa Tewang Rangkang atau almarhum Herwandi dari Desa Tewang Manyangen Tingang, mengaku bahwa jumlah penutur aktif semakin menurun. Anak-anak muda Suku Dayak lebih tertarik bermain gawai, dan tak banyak yang mau mencoba menuturkan bait-bait panjang khas sasana kayau yang sulit dimengerti. Bahkan, beberapa pelantun seperti almarhum Kiris, seorang maestro Sasana Kayau yang mempunyai suara khas dari Tumbang Panggu, telah meninggal dunia sebelum sempat menurunkan seluruh keahliannya.

Namun, komunitas Desa Tumbang Panggu dan desa-desa lainnya di hilir Sungai Katingan berinisiatif mengajarkan kembali Sasana Kayau dalam konteks pendidikan adat. Dalam beberapa ritual, anak-anak diajak ikut sebagai asisten pelantun, mengisi ngawus, yaitu bagian syair isian yang mengisi jeda antar bait utama. Di sini, regenerasi bukan datang dari kurikulum formal, tapi dari kedekatan emosional dan partisipasi spiritual.

Menengok Ulang Praktik Dokumentasi Seni

Di era arsip digital dan kecerdasan buatan, kita mudah percaya bahwa semua pengetahuan bisa disimpan, dicari, dan direplikasi. Namun, Sasana Kayau milik Suku Dayak membuktikan bahwa ada bentuk pengetahuan yang hanya bisa diwariskan melalui tubuh, suara, dan relasi sosial. Lebih jauh, Sasana Kayau menantang cara negara dan institusi formal memahami pelestarian budaya. Ia mungkin bisa dimuseumkan, dilabeli, atau dijadikan sebuah “proyek” identitas. Namun, ia hanya bisa hidup jika komunitas pendukungnya juga hidup.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini