Sosial Budaya Fatwa Haram Mengganggu, Mengapa Kesenian Lokal Jadi Masalah?

Fatwa Haram Mengganggu, Mengapa Kesenian Lokal Jadi Masalah?

18
0

Fenomena Horeg dan Perdebatan di Kalangan Masyarakat

Setidaknya 50 pondok pesantren di Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur, mengeluarkan fatwa haram terhadap musik horeg. Musik ini dikenal sebagai fenomena kesenian lokal yang sering disajikan dalam acara karnaval atau hajatan warga. Namun, menurut pengasuh Pondok Pesantren Besuk Pasuruan, Muhibbul Aman Aly, suara horeg dianggap mengganggu masyarakat dan menyebabkan kerusakan pada fasilitas umum.

Beberapa warga setempat, seperti Ahmad Zainudin, mendukung fatwa tersebut. Ia menilai kreativitas horeg sudah melampaui batas. Menurutnya, ada acara horeg yang sampai harus membongkar fasilitas umum agar bisa lewat, yang jelas mengganggu lingkungan sekitar.

Hermanto, pemilik horeg di Madura, menyatakan bahwa tempat karaoke dan tempat hiburan lainnya juga harus ditutup jika dianggap haram. Ia menegaskan bahwa jika bicara haram, maka semua tempat hiburan harus ditutup. Namun, ia tetap mempertanyakan kebijakan tersebut, karena menurutnya tidak semua orang merasa terganggu oleh musik horeg.

Apa Itu Horeg?

Horeg adalah fenomena musik dengan suara bass yang sangat keras, biasanya diputar dari sound system besar yang ditempatkan di atas truk terbuka. Di tengah jalan, beberapa orang bergoyang mengikuti irama musik dangdut atau lagu pop yang diubah menjadi ala disk jokey. Tapi, tidak semua orang menikmati musik ini. Banyak ibu-ibu, remaja perempuan, dan anak-anak menutup telinga mereka rapat-rapat.

Ahmad Zainudin, warga Desa Palengaan Laok, mengaku terganggu dengan keberadaan musik horeg. Di daerahnya, horeg muncul saat ada hajatan warga, perayaan kelulusan sekolah, atau hari-hari besar Islam. Namun, bagi Zainudin, musik horeg sudah melampaui batas. Alasannya, musik ini mengganggu orang-orang di sekitar lokasi acara yang mungkin sedang sakit atau membutuhkan istirahat seperti lansia.

Menurut Zainudin, euforia musik horeg terlalu berlebihan karena adanya “goyangan tak pantas”. Suara bass dari sound system terlalu dominan, sehingga hanya terdengar bising. Baginya, musik horeg tidak memiliki unsur seni yang nyata.

Tanggapan Warga dan Para Pengusaha

Bukan hanya Zainudin yang terganggu. Annur Rofiek Alamthani, warga Sumenep, juga merasa terganggu dengan suara kencang dari sound system horeg. Ia mengaku kesal tiap kali suara tersebut melewati rumahnya. Kadang, rumahnya sampai bergetar, meskipun tidak sampai rusak.

Video viral tentang seorang lansia di Kediri yang mengelus dada mendengar suara bising horeg menunjukkan betapa mengganggunya musik ini. Di Pati, Jawa Tengah, seorang perempuan paruh baya nyaris diamuk pengguna horeg gara-gara memprotes sound system berukuran besar. Dia terhindar dari tindakan kekerasan setelah masuk ke dalam rumah.

Di Desa Ngampelrejo, Kabupaten Tuban, warga mengeluh karena dimintai iuran sebesar Rp600.000 per keluarga untuk menyewa 12 unit horeg. Peralatan suara itu rencananya akan dimainkan di acara karnaval. Iuran tersebut dianggap memberatkan keuangan warga dan menciptakan kebisingan.

Fatwa Haram dan Perspektif Berbeda

Dalam sebuah forum yang diikuti oleh 50 pondok pesantren se-Jawa Timur, para pengasuh sepakat mengeluarkan fatwa haram terhadap horeg. Mereka menyatakan bahwa suara horeg mengganggu masyarakat dan menyebabkan kerusakan fasilitas umum. Selain itu, kegiatan horeg dinilai melanggar syariat Islam, terutama karena aksi joget laki-laki dan perempuan yang dianggap berpakaian seksi. Bahkan, banyak minuman keras yang ditemukan dalam acara horeg.

Namun, tidak semua setuju dengan fatwa tersebut. Hermanto, pemilik horeg di Pamekasan, secara terbuka menolak. Ia berargumen bahwa jika musik horeg diharamkan, maka semua tempat hiburan juga harus ditutup. Menurutnya, hal itu tidak adil karena musik horeg hanya merupakan bentuk hiburan yang ingin membuat warga senang.

Kontroversi dan Harapan Regulasi

Puji Karyanto, dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga, menjelaskan bahwa musik horeg muncul sebagai kreasi kesenian lokal yang berkembang bersama teknologi sound system. Awalnya, musik ini diputar lewat pengeras suara berukuran kecil, namun seiring perkembangan teknologi, volume suaranya meningkat drastis. Saat ini, musik horeg terkenal di kalangan masyarakat pedesaan karena digelar di acara karnaval.

Meski begitu, Puji menyatakan bahwa musik horeg saat ini sudah kebablasan. Volume suaranya melebihi batas toleransi telinga manusia, yaitu 85 desibel selama delapan jam sehari. Dampaknya bisa menyebabkan gangguan pendengaran permanen. Menurutnya, musik horeg sulit dinikmati sebagai karya seni karena hanya berfokus pada kekerasan suara.

I Wayan Suyadnya, sosiolog dari Universitas Brawijaya, menyatakan bahwa fatwa haram ini bisa dilihat sebagai bentuk perlawanan masyarakat yang risau akan musik horeg. Ia menyarankan pemerintah daerah membuat regulasi terkait musik horeg, misalnya soal pengeras suara dan batasan desibelnya.

Ahmad Zainudin mendukung fatwa haram tersebut demi kemaslahatan umum. Meski demikian, ia tidak yakin fatwa tersebut bakal diikuti oleh pemilik horeg maupun warga. Karenanya, dia berharap pemerintah daerah membuat regulasi agar musik horeg bisa dinikmati tanpa merusak fasilitas umum dan mengganggu ketentraman warga.

Sementara itu, Annur Rofiek Alamthani tidak setuju dengan fatwa haram tersebut. Menurutnya, musik horeg tidak berbeda dengan musik-musik lainnya. Yang perlu diatur hanya lokasinya. Jika digelar di acara karnaval dan lapangan terbuka, tidak mengapa. Yang tidak boleh, di pemukiman padat penduduk.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini