Nasional Deregulasi Investasi masih Sisakan Sejumlah Persoalan

Deregulasi Investasi masih Sisakan Sejumlah Persoalan

5
0

IndonesiaDiscover –

Deregulasi Investasi masih Sisakan Sejumlah Persoalan
Foto udara suasana salah satu lokasi industri di Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Industropolis Batang, Kabupaten Batang, Jawa Tengah.(ANTARA/Harviyan Perdana Putra)

PEMERINTAH berupaya memperkuat ekosistem investasi nasional melalui Peraturan Pemerintah (PP) No 28/2025 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko (PBBR). Namun sejumlah ekonom menyatakan hal itu bisa menjadi bumerang jika tidak dibarengi dengan pengawasan ketat dan kesiapan institusional.

Peneliti dari Center of Reform on Economics (CoRE) Indonesia Yusuf Rendy Manilet mengapresiasi semangat deregulasi pemerintah namun menyoroti aspek-aspek normatif yang berpotensi menghambat efektivitas kebijakan.

Salah satu persoalan utama yang diwarisi dari regulasi sebelumnya adalah lemahnya kejelasan dalam pengklasifikasian risiko usaha. Yusuf menekankan pentingnya transparansi indikator risiko agar tidak memunculkan interpretasi yang berbeda-beda.

“Ketika pengklasifikasian risiko (rendah, menengah, tinggi) tidak memiliki panduan teknis yang rigid dan transparan, potensi multitafsir, baik dari pelaku usaha maupun dari instansi teknis, tetap ada. Hal ini bisa membuka ruang ketidakpastian hukum,” ujarnya saat dihubungi, Minggu (22/6). 

Ia juga mengingatkan, pelonggaran dalam sistem berbasis risiko bisa berujung pada pengabaian prinsip kehati-hatian, terutama dalam sektor berisiko tinggi terhadap lingkungan dan kesehatan.

“Pemerintah harus berhati-hati agar jangan sampai logika percepatan investasi justru mengorbankan aspek keberlanjutan. Terlebih pengawasan pascaperizinan belum dibentuk secara tegas dan terintegrasi dalam PP ini,” tambah Yusuf.

Koordinasi dan transparansi

Sementara itu, Koordinator Analis dari Laboratorium Indonesia 2045 (LAB 45) Reyhan Noor mengapresiasi aspek positif dari sisi teknologi yang digunakan dalam PP ini. Namun, ia turut menekankan persoalan perizinan bukan semata pada sistem digital, melainkan juga pada koordinasi dan transparansi.

Da menggarisbawahi dua kelemahan krusial, yaitu koordinasi pusat dan daerah yang masih kerap menimbulkan ketidakpastian hukum, serta lemahnya proses validasi perizinan. Reyhan mencontohkan kasus tambang di Raja Ampat sebagai bukti lemahnya kontrol administratif.

“Proses perizinan yang tidak transparan dan akuntabel seperti yang terlihat dari kasus beberapa waktu terakhir ini di Raja Ampat. Pencabutan izin yang sangat cepat menunjukkan kurangnya kepastian yang diberikan bagi dunia usaha,” jelasnya. 

Digitalisasi perizinan

Sedangkan Direktur Kebijakan Publik dari Center of Economic and Law Studies (Celios) Media Wahyudi Askar menilai revisi ini memang menunjukkan arah yang positif, tetapi bisa menimbulkan persoalan baru jika tidak dikelola secara komprehensif.

Salah satu yang ia soroti ialah penggunaan Online Single Submission (OSS) sebagai sistem utama masih menyisakan tantangan, terutama bagi pelaku UMKM yang belum terbiasa dengan platform digital.

Media juga menyatakan, simplifikasi prosedur justru bisa menjadi jebakan ketika terjadi percepatan yang tidak sehat dalam proses administrasi. “Karena tenggat waktu, akhirnya banyak dokumen yang disetujui tanpa pertimbangan yang jelas. Bahkan disetujui otomatis kalau waktunya habis,” ungkapnya.

Salah satu kritik paling tajam yang ia sampaikan adalah absennya mekanisme pengaduan publik, padahal hal tersebut sangat penting untuk memperkuat akuntabilitas sistem.

“Poin yang perlu dikritisi juga adalah karena sifatnya yang administratif, cenderung lupa untuk membangun mekanisme pengaduan, semacam aduan publik kalau perizinannya bermasalah,” pungkas Media. (Mir/E-1)

Tinggalkan Balasan