
IndonesiaDiscover –

PENELITI Pusat Studi Anti Korupsi (Pukat) Universitas Gadjah Mada (UGM) Zaenur Rohman memperkirakan proses ekstradisi buron kasus korupsi KTP Elektronik (KTP-E) Paulus Tannos masih cukup panjang.
Menurutnya, keberhasilan pemerintahan Indonesia untuk mengekstradisi Paulus Tannos ke Indonesia tergantung pada kekuatan negosiasi dalam meyakinkan otoritas Singapura melalui kelengkapan data yang disyaratkan.
“Tidak hanya menjelaskan apa yang dilanggar oleh Paulus Tanos menurut yurisdiksi hukum Indonesia, kasus ini memang dianggap kriminal oleh Indonesia tapi harus bisa meyakinkan bahwa kasus ini juga dianggap kriminal oleh Singapura. Itu syarat untuk adanya ekstradisi, harus double criminality,” kata Zaenur kepada Media Indonesia pada Senin (2/6).
Ia mengatakan diterima atau tidaknya gugata penangguhan penahanan yang diajukan Paulus Tannos sepenuhnya menjadi kewenangan otoritas Singapura. Dikatakan bahwa pemerintah Indonesia tidak bisa mengintervensi pengajuan tersebut.
“Apakah penangguhan penahanan itu memiliki dasar atau tidak, memiliki risiko atau tidak, itu nanti akan diukur oleh otoritas Singapura. Dan itu tidak membuka ruang bagi pemerintah Indonesia untuk bisa ikut campur. Pengajuan ini akan menghambat proses ekstradisi,” katanya
Butuh Waktu Berapa Lama Pulangkan Tannos?
Zaenur menduga proses pemulangan tersebut akan memakan waktu hingga setahun sebab buron dengan nama alias Thian Po Tjhi itu telah bersiasat menyewa pengacara untuk menentang upaya ekstradisi. Berbagai upaya telah dilakukan pemerintah Indonesia termasuk melengkapi dokumen dan data yang disyaratkan pemerintah Singapura.
“Pemerintah sudah mengirimkan bukti-bukti utama dan pendukung, mulai dari menyampaikan informasi mengenai buron, tindak pidana yang dilakukan oleh Paulus Tanos, bagaimana perannya, alat bukti yang dimiliki dan lainnya. Jadi, proses ekstradisi ini bola kendalinya ada di pemerintah Singapura,” tukasnya.
Apa Ada Upaya Lain?
Selain itu, Zaenur menjelaskan apabila proses ekstradisi Paulus Tannos gagal, pemerintah Indonesia bisa mengajukan gugatan secara perdata terhadap seorang tersangka atau terdakwa yang melarikan diri sebagaimana diatur dalam pasal 32 UU Tindak Pidana Korupsi (Tipikor).
“Tetapi gugatan perdata itu hanya akan relevan dan memiliki arti jika tersangka masih memiliki harta benda hasil korupsi di Indonesia. Dalam arti, agar pemerintah Indonesia bisa melakukan penyitaan terhadap harta benda tersangka tersebut,” jelasnya.
Akan tetapi lanjut Zaenur, jika aset Tannos tak ada lagi di Indonesia, proses gugatan perdata tersebut tidak bisa dilakukan. Atas dasar itu, proses gugatan perdata akan bergantung pada pengumpulan informasi yang dilakukan oleh KPK terkait jumlah dan keberadaan aset Tannos di Indonesia.
Di samping itu, terdakwa yang kabur dan tidak bisa diekstradisi dapat disidang atau diadili secara in absentia atau tanpa kehadiran terdakwa. Zaenur menegaskan bahwa ini menjadi jalan terakhir jika pemerintah Indonesia gagal melaksanakan ekstradisi terhadap Paulus Tannos.
“Maka satu-satunya jalan yang tersisa adalah melakukan persidangan in absentia, proses hukum di mana suatu kasus diperiksa dan diputus tanpa kehadiran terdakwa atau tergugat,” jelasnya.
Zaenur juga menekankan bahwa proses ekstradisi Tannos menjadi salah satu uji coba terkait efektivitas dari perjanjian ekstradisi antara Indonesia dengan Singapura. Jika hal tersebut gagal, maka pemerintah Indonesia harus mengevaluasinya.
“Begitu banyak yang sudah dikorbankan oleh pemerintah Indonesia untuk menjalankan perjanjian ekstradisi ini, tetapi ternyata kalau memang tidak membawakan hasil, maka ke depan harus evaluasi. Tapi jika ini berhasil memulangkan Paulus Tannos, berarti perjanjian ekstradisi ini ada manfaat yang diperoleh oleh kedua negara,” tuturnya.
Kendati demikian, Zaenur menegaskan bahwa KPK tetap bisa mengusut aliran dana KTP-E meski proses ekstradisi Paulus Tannos masih berlangsung. Menurutnya, bisa atau tidaknya pemulangan Tannos tidak menjadi dasar utama untuk menjerat pelaku lain dan menguak mega korupsi tersebut.
“Pengusutan korupsi KTP-E ini tidak bergantung pada proses pidana yang dijalankan Paulus Tannos. Masih ada alat-alat bukti lain dan tersangka-tersangka yang sudah diadili sebelumnya untuk menjerat pelaku lain, yang sudah dipidana itu bisa digunakan untuk menjerat pelaku lain. Siapa pelaku lain? Yang nama-namanya disebut dalam dakwaan oleh KPK,” pungkasnya. (P-4)