Ekonomi & Bisnis Investor Ragu akan Ketahanan Ekonomi RI Hadapi Eksternal Shock

Investor Ragu akan Ketahanan Ekonomi RI Hadapi Eksternal Shock

7
0
Investor Ragu akan Ketahanan Ekonomi RI Hadapi Eksternal Shock
KEPALA Center of Industry, Trade, and Investment (CITI) Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Andry Satrio Nugroho.(Dok. Antara)

KEPALA Center of Industry, Trade, and Investment (CITI) Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Andry Satrio Nugroho mengatakan, meskipun cadangan devisa Indonesia masih dalam batas aman untuk tiga bulan impor, tetap ada kekhawatiran dari investor. Mereka meragukan kemampuan Indonesia dalam menghadapi guncangan eksternal, yang menyebabkan besarnya arus keluar modal (capital outflow).

Bank Indonesia (BI) mencatat capital outflow pada periode 14–16 April dari pasar keuangan domestik mencapai Rp11,96 triliun. Angka ini terdiri dari jual neto Rp13,01 triliun di pasar saham, lalu beli neto Rp3,28 triliun di pasar Surat Berharga Negara (SBN), dan jual neto Rp2,24 triliun di Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI).

“Ada keraguan dari investor karena melihat  Indonesia tidak cukup tahan terhadap eksternal shock. Oleh karena itu, para investor melarikan dananya keluar,” ujar Andry kepada Media Indonesia, Kamis (8/5).

Dia menjelaskan penurunan cadangan devisa ini tidak hanya terjadi pada bulan April, tetapi juga pada bulan-bulan sebelumnya, mencerminkan adanya pelemahan struktur ekonomi Indonesia. Pada Januari 2025, cadangan devisa mencapai US$156,1 miliar. Lalu, menurun menjadi US$154,5 miliar pada Februari 2025. Pada bulan berikutnya naik menjadi US$157,1 miliar.

Namun, pada akhir April 2025 cadangan devisa Indonesia anjlok sebesar US$4,6 miliar menjadi US$152,5 miliar penurunan terbesar sejak Mei 2023. Andry menyampaikan faktor utama penurunan karena ketergantungan pada cadangan devisa untuk mengatasi pelemahan rupiah serta pembayaran utang luar negeri.

Di sisi lain, defisit transaksi berjalan juga menjadi tantangan, terutama dengan adanya ketegangan akibat tarif tinggi yang ditetapkan Amerika Serikat yang mendorong Tiongkok untuk mencari pasar baru, salah satunya adalah Indonesia. Hal ini berpotensi meningkatkan impor, sementara Indonesia kesulitan mengekspor produk-produk unggulannya akibat kebijakan proteksionisme dan tarif tinggi dari AS. 

“Hal ini semakin memperburuk kondisi ekonomi kita,” kata Andry.

Pemerintah, menurutnya, harus segera memperhatikan beberapa hal. Salah satunya adalah efektivitas kebijakan seperti Devisa Hasil Ekspor (DHE) yang dianggap  belum menunjukkan hasil signifikan dalam meningkatkan penerimaan devisa.

“Pemerintah perlu menilai apakah kebijakan tersebut sudah cukup efektif, mengingat sudah diresmikan oleh presiden dan berlaku,” ucap Andry.

Selain itu, perlu ada langkah proaktif untuk mendorong konsumsi domestik agar dapat mengurangi ketergantungan pada impor. Upaya untuk meningkatkan konsumsi rumah tangga dan mendorong sektor industri sangat penting, agar Indonesia tidak hanya mengandalkan arus devisa dari sektor ekspor. Tanpa tindakan cepat, pelemahan rupiah akan terus berlanjut, ketidakpercayaan pasar akan semakin menguat, dan cadangan devisa akan terus tergerus.  (H-3)

Tinggalkan Balasan