
Indonesiadisciver.com, Pamekasan Adanya intervensi yang diduga dilakukan oknum anggota Polrestabes Surabaya terhadap petugas bea cukai Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea Cukai (KPPBC) Tipe Madya Pabean (TMP) C Madura yang menindak rokok tanpa cukai di akses Jembatan Suramadu, mendapat perhatian anggota Komisi XI DPR RI, Eric Hermawan.
Eric berpandangan, Industri Kecil Menengah (IKM) rokok di Madura itu harus bayar cukai, tetapi cukainya cukai rakyat. Sehingga IKM yang existing itu membayar cukai pada negara dengan biaya yang murah.
Legislator Partai Golkar itu bilang, jalan tengah untuk meminimalisir konflik antar kepentingan yang diduga melibatkan institusi pemerintah dan aparat penegak hukum (APH) adalah dengan membayar cukai. Pasalnya, tanpa membayar cukai yang dirugikan negara.
“Dugaan adanya pelanggaran itu, maka tidak hanya polisi, dikhawatirkan ada unsur APH lain akan terlibat, dan disinyalir oknum bea cukai juga turut terlibat. Karena itu, yang paling benar ada namanya cukai rakyat, supaya negara mendapat untung gitu, tinggal pembinaannya aja, berapa harga cukai yang bisa diserap oleh para pelaku usaha rokok Madura,” terang Eric saat dikonfirmasi di Jakarta, Selasa (12/05/2025).
Eric yang terpilih dari dapil Jawa Timur XI (Madura) juga menyoroti kebijakan eksesif atas tarif cukai rokok dalam beberapa tahun belakangan ini. Ia menduga, pemerintah hanya memikirkan target penerimaan tanpa mempertimbangkan dampak kenaikan cukai rokok.
“Pemerintah ambil uangnya dari cukai rokok, tanpa memedulikan nasib industri rokok. Nah, ini harus dibenahi, makanya cukai itu harus dibuat stabil sehingga pertumbuhan rokok pun akan tumbuh. Bahwa kebijakan cukai hasil tembakau ini perlu dikaji ulang,” jelas Bendum Lembaga Pendidikan Tinggi Nahdlatul Ulama.
Kebijakan cukai rokok yang eksesif juga mendapat sorotan ketua umum Dewan Pimpinan Nasional Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (DPN APTI), Agus Parmuji.
“3 juta petani tembakau sangat menaruh harapan besar kepada Presiden Prabowo yang bervisi menjaga kedaulatan nasional dengan manifestasi melindungi hak-hak kedaulatan ekonomi, sosial, budaya petani tembakau dari agenda asing (proxy war),” kata Agus Parmuji.
Menurut Agus, dalam situasi ekonomi yang tidak sedang baik-baik saja, DPN APTI memohon Presiden Prabowo mengkaji ulang kebijakan cukai rokok yang eksesif. Sebab, instrumen cukai sangat berpengaruh terhadap maju mundurnya industri kretek nasional yang berefek domino terhadap petani tembakau dan cengkeh.
“Kebijakan cukai yang eksesif, negara bisa kehilangan penerimaan cukai sekitar 10% dari total APBN, yang sebenarnya bisa menjadi sumber pendanaan program pemerintah,” tegasnya.
Bupati Temanggung, Agus Setyawan berpandangan, tembakau memiliki multiplier effect yang tinggi sekaligus masih menjadi tulang punggung bagi perekonomian daerah.
Di tengah himpitan masalah regulasi terkait pertembakauan yang memicu turunnya daya beli masyarakat terhadap produk rokok. Dampaknya, kondisi pabrikan rokok masih belum stabil lantaran cukai rokok yang kian tinggi.
“Naiknya cukai rokok menurunkan daya beli masyarakat terhadap produk hasil tembakau, sehingga serapan bahan baku oleh pabrikan di tingkat petani juga menurun. Posisi tawar tembakau kita masih belum baik-baik saja. Padahal bahan baku tembakau hanya bisa diserap oleh pabrikan rokok,” ujarnya.
Sebelumnya, Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi meminta agar Cukai Hasil Tembakau (CHT) tidak terus dinaikkan. Menurutnya, kenaikan cukai rokok justru mendorong maraknya peredaran rokok ilegal di wilayahnya.
“Kebijakan menaikkan CHT setiap tahun tidak efektif untuk menekan konsumsi rokok. Sebab, masyarakat tetap membeli rokok meskipun harganya semakin mahal, bahkan mengorbankan kebutuhan lain seperti gizi keluarga,” katanya.
Dedi berharap pemerintah pusat mengkaji ulang kebijakan kenaikan cukai rokok, karena tidak berdampak signifikan dalam mengurangi jumlah perokok.
“Ini penting ya, untuk itu saya meminta ke depan tidak ada lagi kenaikan cukai rokok. Tapi kalau kenaikan tunjangan bagi pegawai boleh,” pungkasnya.
Data Kementerian Keuangan menyebutkan, dugaan pelanggaran rokok ilegal sepanjang tahun 2024 ditemukan bahwa rokok polos (tanpa pita cukai) menempati posisi teratas sebesar 95,44%, disusul palsu sebesar 1,95%, salah peruntukan (saltuk) 1,13%, bekas 0,51%, dan salah personalisasi (salson) 0,37%.(*)