
IndonesiaDiscover –

UMAYMAH Mohammad sudah lama ingin menjadi dokter. Ia menelusuri ambisinya ke kisah ibunya, salah satu dari ratusan ribu warga Palestina yang diusir oleh Israel ke Yordania dalam perang Arab-Israel tahun 1967, dan yang terjangkit polio saat masih balita. Meskipun hidup dengan penyakit yang melemahkan itu, ibu Mohammad berhasil membesarkan lima anak dan memperoleh gelar pascasarjana di Amerika Serikat (AS).
Ini kisah seorang perempuan yang, “Mengatasi keadaan medis yang tak tertahankan,” kata Umaymah. Kisah ini juga mengajarkan warga Amerika Palestina itu tentang, “Faktor penentu sosiologis kesehatan,” katanya, karena Umaymah percaya pengungsian berkontribusi pada ibunya yang tertular penyakit tersebut, karena kondisi sanitasi buruk yang dihadapi seluruh komunitas pengungsi Palestina saat itu.
Umaymah, yang kini berusia 28 tahun, secara terbuka mengajukan lamarannya ke sekolah kedokteran tentang tujuannya untuk menjadi dokter yang berbicara tentang struktur sosial kekerasan yang memengaruhi kesehatan dan menerima penolakan dari sebagian besar orang. Universitas Emory, di Atlanta, merupakan pengecualian. Ia memulai program ganda di sana pada 2019 untuk memperoleh gelar kedokteran dan gelar doktor sosiologi.
Setelah empat tahun berkuliah, serangan Hamas pada 7 Oktober pun terjadi. Setelah menyaksikan pembalasan mematikan Israel terhadap Gaza dari jauh, pada Januari 2024, Umaymah mengirim email ke seluruh sekolah kedokteran dengan subjek, “Darah Palestina menodai tanganmu, Universitas Emory, dan Sekolah Kedokteran.” Ia mengecam sesama mahasiswa dan fakultas sekolah karena diam tentang pembersihan etnis Palestina.
Musim semi itu, kampus Emory dilanda protes yang menuntut divestasi dari Israel. Ini mendorong rektor Emory memanggil polisi Atlanta pada 25 April. Itu menjadi unjuk kekuatan polisi tercepat di kampus AS pada saat itu. Polisi menggunakan taser kepada para mahasiswa yang juga merupakan kejadian pertama kali. Sebagai seorang organisator, Umaymah berada di tengah-tengahnya.
Profesor Emory
Keesokan hari, ia memberikan wawancara di program berita Democracy Now! Ia berbicara tentang iklim di kampus bagi para pengunjuk rasa. Dia juga berbicara tentang seorang profesor sekolah kedokteran Emory yang baru saja kembali dari menjadi sukarelawan sebagai tenaga medis di militer Israel. Tujuh bulan kemudian, hal ini menyebabkan dia diskors dari sekolah kedokteran selama setahun, setelah dia ditemukan telah melanggar standar ‘perilaku profesional’ sekolah kedokteran tersebut.
Kasus Umaymah telah menjadi pertikaian tegang mengenai ekspresi yang mencerminkan konflik yang terjadi di berbagai lembaga di seluruh AS atas serangan brutal Israel yang sedang berlangsung di Gaza. Hal ini juga merupakan lambang dari masalah khusus yakni para profesor dan mahasiswa mulai menolak kehadiran warga Israel di kampus yang baru saja menyelesaikan dinas militer.
Ketika Umaymah diwawancarai Democracy Now! pada April, dia sudah kesal dengan standar ganda yang tidak bermoral. Beberapa bulan sebelumnya, seorang profesor sekolah kedokteran Emory, Abeer N AbouYabis, telah dipecat setelah mem-posting di Facebook untuk mendukung warga Palestina setelah peristiwa 7 Oktober.
Postingannya menyertakan frasa, “Mereka punya tembok, kami punya glider. Kemuliaan bagi semua pejuang perlawanan,” referensi tentang cara anggota Hamas meluncur melewati tembok di Gaza untuk memasuki Israel dan melancarkan serangan mereka. Menurut laporan tentang pemecatan AbouYabis oleh komite Emory karena berekspresi secara terbuka, postingannya dianggap sebagai pengagungan kelompok tersebut.
Pada saat yang sama, Umaymah mengatakan kepada pewawancara Democracy Now!, “Salah satu profesor kedokteran yang kami miliki di Emory baru-baru ini pergi untuk bertugas sebagai tenaga medis sukarelawan,” di IDF. Profesor itu, lanjutnya, “Berpartisipasi dalam membantu dan bersekongkol dalam genosida, membantu dan bersekongkol dalam penghancuran sistem perawatan kesehatan di Gaza dan pembunuhan lebih dari 400 pekerja perawatan kesehatan, serta sekarang kembali ke Emory untuk mengajar mahasiswa kedokteran dan residen cara merawat pasien.”
Pernyataan Umaymah tentang program tersebut menuai keluhan dari profesor tersebut–yang tidak disebutkan namanya–dan seorang dekan yang telah meninggalkan Emory. Profesor tersebut memberi tahu sekolah kedokteran bahwa ia merasa tidak aman, karena wawancara Umaymah dapat membuat ia dan keluarganya rentan terhadap pelecehan. Ia meminta administrator sekolah kedokteran untuk menyelidiki Umaymah karena melanggar kode etik sekolah.
Pada Juli, seorang penyidik merilis temuan awal mereka yaitu Umaymah telah melanggar kode etik sekolah kedokteran terkait dengan profesionalisme dan saling menghormati dengan menunjuk dan meremehkan seseorang selama wawancara Democracy Now!
Komite Emory
Hal ini menarik perhatian Komite Emory untuk ekspresi terbuka. Bulan itu, ketuanya, profesor fisika Ilya Nemenman, meminta sekolah kedokteran untuk mengizinkan komite tersebut memberikan pendapatnya. Namun, Nemenman ditolak, “Kode Etik Sekolah Kedokteran tidak mencakup peran (komite) dalam masalah disiplin mahasiswa,” kata dekan asosiasi eksekutif John William Eley dalam jawabannya.
Nemenman segera membalas, menegaskan kembali permintaannya dan menegaskan bahwa penafsiran ini bertentangan dengan preseden yang telah terjadi setidaknya selama satu dekade. Reaksinya digaungkan oleh George Shepherd, seorang profesor hukum dan presiden senat fakultas Emory, yang juga menulis kepada Eley dan menyatakan bahwa dia terkejut dengan penolakan singkat tersebut. (Senat fakultas mengawasi komite tersebut.)
“Hak mahasiswa untuk berekspresi bebas terlibat secara dramatis ketika Emory mendisiplinkan mahasiswa tersebut atas apa yang telah mereka ungkapkan,” tambah Shepherd.
Baik Shepherd maupun Nemenman tidak menerima balasan. Pada September, Eley bertanya kepada Umaymah dalam surat mengenai dua rute yang ingin ia tempuh yaitu menerima temuan tersebut dan mengizinkan dekan untuk memutuskan sanksi yang sesuai atau melanjutkan dengan sidang. Ia memilih yang terakhir.
“Menerima kesalahan berarti menerima untuk tidak membicarakan Palestina dan menerima untuk tidak membicarakan genosida serta tidak ada karier yang sepadan dengan itu,” katanya kepada Guardian.
Akhir bulan itu, komite ekspresi terbuka merilis laporannya sendiri. Menurut penyelidikan independennya, isi wawancara Umaymah dilindungi oleh kebijakan Emory tentang kebebasan berekspresi. Bahkan, komite tersebut mengatakan, sekolah kedokteran telah melanggar kebijakan Emory tentang ekspresi terbuka dengan melakukan penyelidikan seperti yang dilakukannya.
Nemenman menulis dalam laporan tersebut bahwa, dengan mengabaikan komite, sekolah kedokteran, “Tidak hanya melanggar kebijakan, tetapi, ironisnya, juga ‘prinsip profesionalisme dan saling menghormati’, yang ingin mereka tegakkan dengan penyelidikan Kode Etik ini.”
Pengusiran
Terjebak di antara dua penafsiran yang saling bertentangan ini, Umaymah menghadapi sidang pada 12 November. Profesor dan dekan yang menuduhnya, bersama dengan penasihat fakultas profesor tersebut, “Memberikan kesaksian atas pengusiran saya,” katanya. “Mereka ingin saya tidak pernah bisa berpraktik kedokteran (dan) salah satu dari mereka meludahi meja, wajahnya merah, dan banyak berteriak,” kenangnya.
Mereka menuntutnya untuk memberikan bukti untuk mendukung klaimnya tentang profesor tersebut. Pada satu titik, penasihat tersebut berteriak, “Siapa Anda yang bisa memutuskan apa itu genosida?” Umaymah mengatakan bahwa dia merasa kalah dan upaya untuk membela kasusnya tidak didengar. Dia menggambarkan sidang tersebut sebagai, “Salah satu dari dua jam yang paling tidak manusiawi dalam hidup saya.”
Sebagai penasihat PhD Mohammad, profesor sosiologi Karida L Brown, diizinkan untuk menemaninya dalam sidang tersebut. Brown, yang penelitiannya berpusat pada ras dan rasisme, menggemakan deskripsi Umaymah. Itu, “Seperti pengadilan Jim Crow,” katanya. “Sejak awal, rasanya tidak adil,” katanya, merujuk pada penolakan sekolah kedokteran untuk melibatkan komite ekspresi terbuka atau mempertimbangkan laporannya.
Tujuh hari setelah sidang, Umaymah diberi tahu bahwa ia telah diskors dari sekolah kedokteran selama satu tahun akademik dan akan menjalani masa percobaan sejak ia kembali hingga lulus. Bandingnya atas skorsing tersebut ditolak.
Umaymah memutuskan untuk mengumumkannya ke publik. Pada tahun baru, ia menulis tentang kasusnya untuk Mondoweiss dan mengadakan konferensi pers dengan harapan sekolah kedokteran akan membatalkan keputusannya dan mengubah kode etiknya agar lebih selaras dengan kebijakan Emory tentang ekspresi terbuka.
Dianggap teroris
Nama dan fotonya telah diunggah daring setelah emailnya pada Januari 2024 oleh kelompok pro-Israel seperti Canary Mission. Sesama mahasiswa sekolah kedokteran juga telah menyebutnya sebagai ‘teroris’ secara daring. Dalam suasana ini, ia memutuskan pada satu titik untuk meninggalkan rumahnya di Atlanta selama seminggu, “Demi keselamatan,” katanya.
Permintaan komentar kepada Eley diteruskan ke juru bicara Emory, Laura Diamond, yang mengatakan, “Emory tidak dapat membahas kasus perilaku mahasiswa.” Diamond juga menunjukkan bahwa Emory merilis kebijakan ekspresi terbuka yang diperbarui pada tanggal 20 Maret.
Kebijakan baru tersebut menyatakan bahwa meskipun perwakilan dari komite kebebasan berekspresi dapat memainkan peran penasihat dalam sidang disiplin jika diminta oleh orang yang menghadapi hukuman, ia tidak memiliki hak atas informasi atau catatan yang relevan dari pejabat universitas, juga tidak memiliki hak untuk berpartisipasi dalam sidang.
“Administrator masih dapat mengabaikan kebijakan ekspresi terbuka, (bahasa yang diperbarui) tidak cukup memberikan perlindungan di bawah kebijakan ekspresi terbuka terhadap hak-hak mahasiswa,” kata seseorang yang mengetahui musyawarah tersebut. Bahasa tersebut diperbarui karena kasus Umaymah, kata mereka.
Umaymah memiliki setidaknya satu tahun tersisa untuk meraih gelar doktor sosiologinya. Setelah itu ia berencana untuk kembali ke program MD-nya. Sebaliknya, skorsingnya akan berlaku saat itu, menunda gelar MD-nya selama satu tahun lagi.
Saat ia kembali ke kampus pada musim semi ini, satu pemandangan khususnya dari sidangnya berulang kali dalam benaknya. “Saya tidak akan pernah melupakan yang salah satu dari mereka katakan kepada saya di akhir,” katanya. “Saya turut berduka cita atas ibumu, tetapi itu tidak ada hubungannya dengan ini.”
Terutama sejak perang tahun 1967 yang menyebabkan ibu Umaymah dan ribuan orang lainnya mengungsi, layanan kesehatan bagi warga Palestina di Gaza telah terpecah-pecah dan melemah. Namun dalam 18 bulan terakhir, “Israel telah melakukan kebijakan terpadu untuk menghancurkan sistem layanan kesehatan Gaza,” menurut laporan PBB, yang menuduh IDF melakukan kejahatan perang termasuk menargetkan tenaga medis dan mengebom sebagian besar rumah sakit di Gaza. Lebih dari 1.000 petugas kesehatan telah tewas di Gaza sejak Oktober 2023. Israel telah membantah tuduhan tersebut.
Dalam konteks inilah Umaymah dan beberapa orang di bidang medis di AS semakin frustrasi dengan kurangnya protes dari anggota profesi mereka, terutama karena sebagian besar bom tersebut dibuat di AS. Rasa frustrasi, dalam beberapa kasus, telah menjadi masalah pribadi, yang memicu ketegangan antara mahasiswa dan fakultas yang memprotes Israel dan warga Israel di kampus yang telah bertugas di IDF sejak 7 Oktober. Asal tahu saja, dinas militer wajib di Israel dan sejumlah warga Israel di AS melakukan perjalanan kembali untuk menjadi sukarelawan di militer setelah serangan Hamas.
“Perawatan seperti apa yang dipelajari mahasiswa kedokteran ketika mereka ialah mentor dan pendidik kita?” Umaymah menulis dalam artikelnya di Mondoweiss. “Perawatan seperti apa yang diterima pasien dari dokter yang percaya pada legitimasi apartheid dan bahwa beberapa nyawa manusia tidak sepenting yang lain?”
Profesor di AS
Setidaknya dua profesor di universitas AS telah menghadapi konsekuensi dalam beberapa bulan terakhir setelah secara terbuka menyatakan kekhawatiran tentang mantan tentara IDF di kampus. Profesor hukum Universitas Columbia Katherine Franke mengatakan dia dipaksa keluar dari sekolah pada Januari setelah mengangkat isu mahasiswa Israel, “Telah keluar dari dinas militer mereka (yang telah) diketahui melecehkan mahasiswa Palestina dan mahasiswa lain di kampus kami.” Dia juga telah berbicara di Democracy Now!
Dr Rupa Marya, seorang profesor kedokteran dan dokter, dilarang masuk ke kampus di University of California, San Francisco (UCSF), karena mengunggah di X tentang keberadaan mantan tentara IDF di sekolah kedokteran secara khusus. “Mahasiswa kedokteran di UCSF khawatir bahwa seorang mahasiswa tahun pertama dari Israel ada di kelas mereka. Mereka bertanya apakah dia berpartisipasi dalam genosida warga Palestina di IDF sebelum masuk kuliah.”
Dalam wawancara dengan Guardian, Marya menguraikan kekhawatirannya. “Bagaimana kita mengintegrasikan tentara cadangan (Israel) ke dalam komunitas medis dengan mahasiswa (Palestina) yang telah kehilangan 50 atau 60 anggota keluarga? Apa kewajiban moral kedokteran?”
Dia masih menjalani sidang di UCSF untuk menentukan masa depannya di sekolah tersebut, katanya. UCSF tidak membalas permintaan komentar.
Pada Januari, satu ceramah terjadwal oleh seorang dokter bedah dan anggota korps medis IDF di sekolah kedokteran Universitas Maryland, tentang memajukan perawatan, menyelamatkan nyawa, dan meningkatkan hasil dibatalkan, setelah sekolah tersebut menerima ribuan email sebagai bentuk protes.
Kasus tidak biasa
Azka Mahmood, direktur eksekutif Cair-Georgia, atau Council on American-Islamic Relations, mengatakan kasus Umaymah tidak biasa karena, “Kami belum pernah melihat mahasiswa kedokteran menjadi sasaran seperti ini,” katanya. “Anda memiliki seorang mahasiswa kedokteran Palestina yang secara khusus bergabung dengan bidang tersebut untuk mencoba memahami ketidakadilan dan peran kedokteran dalam kekerasan serta harus bekerja berdampingan dengan seorang tentara IDF memperburuk keadaan dan membuatnya sangat menyakitkan.”
Umaymah dan Marya telah terhubung dan sekarang menjadi bagian dari suatu kelompok kecil, termasuk para pendiri Doctors Against Genocide, yang meluncurkan kursus Zoom yang ditujukan untuk para pekerja kesehatan dan mahasiswa kedokteran yang ingin, “Berbicara tentang genosida di Gaza dan membangun masa depan yang adil bagi sistem kesehatan kita.” Mereka menyebut kursus tersebut dengan Menumbuhkan Keberanian.
“Merupakan kewajiban kita sebagai komunitas medis untuk tidak melakukan hal-hal yang membahayakan dan melindungi kehidupan,” kata Karameh Kuemmerle, seorang dokter Palestina-Amerika dan pendiri Doctors Against Genocide. Ini merupakan koalisi kesehatan global yang berkomitmen menghentikan genosida yang baru-baru ini mengorganisasi para pekerja kesehatan untuk melobi para anggota parlemen AS agar mendapatkan bantuan ke Gaza. “Melihat rumah sakit dan lembaga medis kita menghindari masalah ini karena terlalu memecah belah ialah sesuatu yang tidak dapat kita terima,” kata Kuemmerle.
Nidal Jboor, pendiri lain, mencatat bahwa lembaga medis seperti Palang Merah gagal menentang Holocaust saat hal itu terjadi. Jika para dokter dan mahasiswa kedokteran AS terus menempuh jalan yang sama terkait Gaza, katanya, “Itu akan menempatkan kita di sisi sejarah yang salah.”
Proyek tersebut merupakan titik terang yang langka bagi Umaymah. “Penindasan sering kali mendatangkan komunitas baru,” katanya.
Kembali ke Emory, Brown, penasihat doctoral Umaymah, mengatakan bahwa ia bangga dengan mahasiswanya. “Dia melakukan yang seharusnya dia lakukan, meminta pertanggungjawaban bidang yang dia tekuni terhadap cita-cita yang dinyatakan,” kata Brown. “Dia akan menjadi Dr Mohammad, dengan cara apa pun,” tandasnya. (The Guardian/I-2)