

MANTAN Kepala Badan Diklat Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung (MA) Zarof Ricar telah diseret ke Pengadilan Tipikor Jakarta sebagai terdakwa dalam perkara vonis bebas Ronald Tannur di Pengadilan Negeri Surabya. Selain perkara Ronald, Zarof didakwa menerima gratifikasi atas perkara lainnya di pengadilan tingkat pertama sampai peninjauan kembali yang berlangsung sejak 2006.
Pada 2006-2014, Zarof tercatat menjabat sebagai Direktur Pranata dan Tata Laksana Perkara Pidana Direktorat Jenderal badan Peradilan Umum MA. Berikutnya, ia menduduki jabatan Sekretaris Direktorat Jenderal Badan Peradilan Umum MA pada 2014-2017. Adapun posisi terakhirnya di MA sebagai Kepala Badiklat Hukum dan Peradilan berakhir pada 2022.
Selama berkarier di periode tersebut, jaksa penuntut umum (JPU) menjelaskan bahwa Zarof telah menerima uang tunai dalam bentuk mata uang rupiah dan asing dengan total mencapai Rp915 miliar dan emas logam mulia seberat 51 kg. Total uang dan emas itu diduga diterimanya selama bertugas sejak 2012.
Kendati demikian, surat dakwaan Zarof yang disusun jaksa penuntut umum dinilai masih lemah untuk membongkar jaringan mafia peradilan di lingkungan pengadilan. Pasalnya, jaksa tak menyertakan pasal tindak pidana pencucian uang (TPPU) terhadap Zarof. Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat) Universitas Gadjah Mada, Zaenur Rohman pun mempertanyakan kesungguhan kejaksaan.
“Saya juga ikut ragu nih terhadap kesungguhan dari kejaksaan kalau tidak menggunakan pasal TPPU. Kemungkinan kalau hanya seperti ini, saya tidak bisa berharap banyak. Saya lihat ini akan berhenti di level bawah, juga tidak akan bisa mengungkap pelaku-pelaku lain,” ujarnya kepada Media Indonesia, Selasa (11/2).
Untuk diketahui, Zarof didakwa dengan Pasal 12B jo Pasal 18 dan Pasal 6 ayat (1) huruf a jo Pasal 15 jo Pasal 18 atau Pasal 15 jo Pasal 18 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tikpikor) jo Pasal 55 ayat (1) KUHP.
Zaenur mengingatkan, prinsip UU TPPU adalah follow the money alias mengikuti aliran uang. Tanpa dakwaan TPPU, sulit baginya untuk JPU membuktikan asal-usul uang serta emas yang didapat oleh Zarof. Selain itu, UU TPPU diyakini lebih ampuh digunakan untuk efektifitas pemulihan aset.
Dengan modal UU Tipikor, jaksa mesti kerja ekstra membuktikan siapa pihak pemberi ke Zarof, untuk tujuan apa pemberian dilakukan, dan apakah tujuan tersebut melawan hukum atau tidak. Padahal, JPU tak perlu membuktikan predicate crime atau tindak pidana asal jika menggunakan TPPU.
“Kalau pakai TPPU, itu kan prinsipnya follow the money dan asalkan itu ada diketahui predicat crime-nya, yang predicat crime-nya tidak perlu dibuktikan terlebih dahulu. Jadi UU TPPU itu punya kelebihan dibandingkan dengan UU Tipikor,” terang Zaenur.
“Sehingga dari dakwaan Zarof Ricar kita tidak melihat kesungguhan kejaksan untuk membongkar mafia peradilan,” pungkasnya. (Tri)