

INDEKS Rule of Law 2024 yang dirilis World Justice Project menunjukkan Indonesia berada di peringkat 68. Indonesia mengalami penurunan skor sebesar 0,53 poin dari ranking tahun lalu di urutan 66. Koalisi masyarakat sipil mendesak pemerintah dan DPR untuk menguatkan lembaga pengawas independen lembaga penegak hukum.
Dalam rilis bersama yang dikeluarkan PBHI, Imparsial, Elsam, HRWG, Walhi, Centra Initiative, Koalisi Perempuan Indonesia, Setara Institute, dan BEM SI Kerakyatan, koalisi masyarakat sipil menilai penambahan kewenangan terhadap aparat penegak hukum lewat revisi sejumlah undang-undang adalah salah kaprah.
Sebab, dengan kewenangan yang ada saat ini, aparat penegak hukum justru acapkali menyalahgunakan kewenangan untuk melakukan tindak pidana korupsi, kekerasan, dan penyimpangan. Direktur Imparsial Ardi Manto Adiputra menyinggung dugaan korupsi yang dilakukan mantan pejabat MA, Zarof Ricar, serta jajaran hakim Pengadilan Negeri Surabaya dalam kasus suap pengurusan vonis bebas Ronald Tannur.
Institusi Polri juga dinodai dengan kasus pemerasan yang menyasar sejumlah warga negara Malaysia saat gelaran Djakarta Warehouse Project (DWP) di JIExpo Kemayoran beberapa waktu lalu. Adapun TNI, meski bukan aparat penegak hukum, tapi anggotanya juga tersandung kasus korupsi, misalnya yang dilakukan mantan Kepala Badan SAR Nasional (Kabasarnas) Marsdya Henri Alfiandi.
“Alih-alih melakukan pembenahan dengan memperkuat pengawasan, lembaga-lembaga tersebut di atas justru terlihat tengah berlomba-lomba untuk menambah kewenangannya,” kata Ardi, Sabtu (8/2).
Penambahan kewenangan tersebut tertuang dalam draf revisi Undang-Undang Polri, revisi Undang-Undang Kejaksaan, maupun revisi Undang-Undang TNI. Ardi mengatakan, pihaknya mengkritik penambahan kewenangan polisi untuk melakukan pemblokiran terhadap konten digital. Sebab, tugas itu sudah diberikan oleh Kementerian Informasi dan Digital.
Sementara itu, berdasarkan draf RUU Kejaksaan, koalisi masyarakat sipil menyoroti upaya memperkuat imunitas jaksa yang dijustifikasi undang-undang dengan dalih perlindungan kepada jaksa. Adapun draf RUU TNI berupaya memperluas kewenangan TNI, khususnya Angkatan Darat, menjadi lembaga penegak hukum.
“Hal ini tidak hanya bertentangan dengan Konstitusi dan raison d’etre TNI, tetapi dapat merusak sistem penegakan hukum di Indonesia,” jelas Ardi.
Alih-alih memperluas kewenangan aparat penegak hukum dan militer, koalisi meminta pemerintah dan DPR untuk memperkuat semaksimal mungkin lembaga-lembag pengawas yang telah tersedia, seperti Komisi Yudisial, Komisi Kejaksaan, Komisi Kepolisian Nasional, KPK, Komnas HAM, dan Komnas Perempuan.
Tujuannya, agar lembaga eksternal yang independen itu dapat mengawasi, memproses, dan melakukan penindakan dengan maksimal terhadap aparat penegak hukum yang menyalahi kode etik atau melakukan pelanggaran.
“Perlu dipastikan bahwa lembaga pengawas external ini dapat bekerja secara efektif yang dilengkapi dengan kewenangan yang memadai dan sumber daya yang cukup,” pungkas Ardi. (Tri/J-2)