

SEKTOR pertanian menjadi satu dari sektor prioritas pemerintah dalam mengatasi krisis global. Hal ini turut tergambar dalam rencana kerja Presiden Prabowo Subianto yang mendorong swasembada pangan hingga mewujudkan ketahanan pangan berkelanjutan. Karena itu, pengembangan agrikultur yang progresif harus terus didorong.
Meski demikian, persoalan sektor pertanian di Indonesia masih terbilang pelik dan penuh tantangan. Stigmatisasi soal menjadi petani di usia kalangan produktif atau anak muda masih banyak yang kurang meminati. Salah satu faktornya karena sektor ini kerap dianggap tak menjamin kesejahteraan.
Keresahan dalam memandang usaha pertanian yang sebenarnya adalah kekuatan bagi bangsa untuk berlari kencang menuju Indonesia Emas itu tertuang dalam buku berjudul Agrikultur Progresif: menopang Indonesia emas lewat jalur pertanian karya petani muda, Al Fansuri.
“Sektor pertanian itu vital bagi perekonomian Indonesia. Meskipun ya kontribusinya terhadap PDB negara terus menurun, tapi ini masih jadi sektor penghidupan bagi masyarakat, apalagi yang tinggal di pedesaan. Tapi, sekali lagi kita sama-sama ketahui kalau komoditas pertanian juga jadi penyumbang PDB terbesar bagi negara Indonesia, apalagi kalau anak mudanya lebih banyak berperan di sektor pertanian,” kata Al Fansuri, melalui keterangannya, Rabu (15/1).
Sebagai anak muda yang bergelut di usaha pertanian, ia tak menampik masih ada banyak kerikil tajam yang dihadapi petani. Ketergantungan pada metode konvensional dan kurangnya penerapan teknologi modern menjadi penghalang utama dalam meningkatkan produktivitas.
Menurutnya, transformasi menuju agrikultur progresif, yakni sistem pertanian yang mengintegrasikan teknologi canggih dan ramah lingkungan, serta berfokus pada efisiensi dan keberlanjutan harus terus diupayakan. Penggunaan drone untuk pemantauan tanaman, sistem irigasi berbasis sensor otomatis, serta teknologi big data untuk meramalkan hasil panen, dipandangnya sebagai kunci untuk menghadapi tantangan produksi dan distribusi.
Tanpa pendidikan dan pelatihan yang memadai, petani akan kesulitan beradaptasi dengan perubahan zaman. Oleh karena itu, peningkatan kapasitas petani melalui pendidikan dan akses ke pembiayaan yang lebih mudah, menjadi bagian tak terpisahkan dari rencana transformasi ini. Ia sekaligus menekankan pentingnya penguatan infrastruktur pertanian. Mulai dari sistem irigasi hingga jaringan distribusi yang lebih efisien.
Tidak hanya soal teknologi dan infrastruktur, dalam bukunya Al Fansuri juga mengajak pembaca dan pelaku usaha tani untuk berpikir lebih jauh tentang keberlanjutan pertanian.
“Dalam menghadapi dampak perubahan iklim, pertanian berkelanjutan, seperti teknik agroforestry dan pertanian organi, diperlukan untuk menjaga keseimbangan ekosistem sekaligus menghasilkan produk yang lebih sehat dan berkualitas.” lanjutnya.
Al Fansuri mengatakan pada Agrikultur 4.0, era digitalisasi dalam sektor pertanian melibatkan penerapan kecerdasan buatan (AI), Internet of Things (IoT), dan blockchain untuk meningkatkan efisiensi serta transparansi dalam rantai pasok pertanian. (Z-9)