DI tengah kekecewaan publik atas hukuman ringan Harvey Moeis, Presiden Prabowo Subianto mengatakan seharusnya, terdakwa kasus korupsi yang merugikan negara ratusan triliun dihukum 50 tahun penjara.
Pernyataan Prabowo itu dinilai tidak rasional oleh sejumlah pegiat antikorupsi di Tanah Air. Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat) Universitas Gadjah Mada, Zaenur Rohman, misalnya, mengingatkan bahwa Harvey terbukti melanggar Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 18 UU Tipikor dan Pasal 3 UU TIndak Pidana Pencucian Uang jo Pasal 55 ke-1 KUHP.
Beleid tersebut memungkinkan seorang koruptor dijatuhi hukuman pidana penjara sampai seumur hidup. Namun, ketentuan lamanya masa penjara di samping seumur hidup yang diatur berdasarkan pasal penjerat Harvey adalah paling singakt 1 tahun dan paling lama 20 tahun.
“Vonisnya enggak bisa 50 tahun. Vonis maksimal itu 20 tahun pidana penjara, tidak bisa lebih dari itu,” kata Zaenur kepada Media Indonesia, Rabu (1/1).
Sementara, peneliti Pusat Studi Anti Korupsi (Saksi) Universitas Mulawarman, Kalimantan Timur, Herdiansyah Hamzah mengatakan penjatuhan hukuman oleh hakim sangat tergantung pada pertimbangan hakim berdasarkan fakta-fakta yang didapatkan dalam persidangan.
“(Tapi), ya enggak rasional juga dong kalau 50 tahun. Itu bergantung pada pertimbangan hakim berdasarkan fakta-fakta yang didapatkan dalam persidangan. Ada yang disebut sebagai batas batas penalaran yang wajar,” ujarnya.
Bagi Herdiansyah, pernyataan Prabowo soal hukuman 50 tahun untuk koruptor hanyalah kiasan. Pernyataan itu mengindikasikan bahwa koruptor memang harus dijatuhi hukuman yang berat. Ia menilai, hukuman berat diperlukan untuk memberikan efek jera.
“Terlepas dari 12 tahun tuntutan jaksa, nilai keruigan negara Rp300 triliun dalam kasus timah itu tidak sepadan dengan hukuman 6,5 tahun. Gimana mau ada efek jera kalau kemudian vonisnya rendah seperti itu?” tandas Herdiansyah.
Sebelumnya Jaksa penuntut umum (JPU) sudah mengajukan banding atas putusan Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat terhadap terdakwa kasus korupsi timah, Harvey Moeis. Langkah itu dilakukan karena hukuman pidana penjara 6,5 tahun dari hakim masih dinilai belum memberikan rasa keadilan kepada masyarakat.
Terlebih, kasus korupsi timah yang diusut jajaran Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus (JAM-Pidsus) Kejaksaan Agung itu merugikan negara Rp300 triliun.
Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Harli Siregar menilai bahwa pernyataan Prabowo selaku Kepala Negara adalah bentuk dari pemikiran yang filosofis. Kendati demikian, jaksa tetap akan merujuk pada ketentuan yang tertuang dalam peraturan perundang-undangan pada tahap banding.
“Presiden itu Kepala Negara. Pemikiran-pemikiran Presiden adalah pemikiran-pemikiran filosofis, kemaslahatan,” kata Harli.
“Sedangkan kita (jaksa), tataran operasional. Ya tentu penegakan hukum harus didsarkan pada regulasi yang ada. Jadi harus dikembalikan kepada peraturan yang ada, tentu (dalam hal ini) Undang-Undang Tipikor,” sambungnya. (H-3)