KEPALA Departemen Pengelolaan Uang Bank Indonesia (BI) Marlison Hakim membantah telah menerbitkan dokumen sertifikat deposito terkait kasus uang palsu di Kampus II UIN Alauddin Makassar, di Kabupaten Gowa Sulawesi Selatan.
Seperti diketahui, Polres Gowa Sulawesi Selatan menyita 98 item barang bukti dari kasus tersebut. Antara lain mesin cetak uang hingga uang palsu Rp 446 juta, lalu surat berharga negara (SBN) senilai Rp 700 triliun dan satu lembar fotokopi certificate of time deposit Bank Indonesia (deposito) senilai Rp45 triliun.
“Terkait temuan Polres Gowa yang diduga merupakan sertifikat palsu SBN dan Deposito BI, dapat kami tegaskan bahwa BI tidak pernah menerbitkan dokumen sertifikat deposito BI,” tegas Marlison dalam keterangan resmi, Selasa (31/12).
Sementara, lanjutnya, untuk kepemilikan SBN tersebut dikatakan bersifat scripless (tanpa warkat). Artinya, tidak ada dokumen sertifikat kepemilikan yang dipegang oleh investor karena kepemilikan investor tersebut dicatatkan secara elektronik.
Marlison menekankan berdasarkan penelitian BI atas sampel barang bukti uang palsu yang menyeret pengusaha asal Kota Makssar, Annar Salahuddin Sampetoding (ASS), teridentifikasi merupakan uang palsu dengan kualitas yang sangat rendah dan sangat mudah diidentifikasi dengan kasat mata melalui metode 3D (dilihat, diraba, diterawang).
“Uang palsu tersebut dicetak dengan menggunakan teknik cetak inkjet printer dan sablon biasa, sehingga tidak terdapat pemalsuan menggunakan teknik cetak offset sebagaimana berita yang beredar,” jelasnya.
Hal tersebut, ungkapnya, sejalan dengan barang bukti mesin cetak temuan Polri yang merupakan mesin percetakan umum biasa, tidak tergolong ke dalam mesin pencetakan uang.
Marlison menambahkan, tidak ada unsur pengaman uang yang berhasil dipalsukan. Benang pengaman, watermark, electrotype, dan gambar UV dikatakan hanya dicetak biasa menggunakan sablon, serta kertas yang digunakan merupakan kertas biasa.
Uang palsu yang ditemukan berpendar di bawah lampu U berkualitas sangat rendah pendaran yang berbeda baik dari segi lokasi, warna, dan bentuk dengan uang rupiah asli.
Terkait cara menguji keaslian uang rupiah, masyarakat tidak perlu melakukan tindakan lainnya yang dapat merusak uang, seperti membelah uang. Sebagaimana barang yang memiliki ketebalan, uang rupiah kertas dalam kondisi apapun, baik masih layak edar ataupun sudah lusuh juga dapat dibelah menggunakan teknik atau metode tertentu.
Membelah uang rupiah juga merupakan salah satu tindakan yang dapat dikategorikan dalam merusak uang dan merupakan pelanggaran dengan sanksi pidana. Pasal 35 UU No. 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang mengatur bahwa setiap orang yang dengan sengaja merusak, memotong, menghancurkan dan/atau mengubah rupiah dengan maksud merendahkan kehormatan rupiah sebagai simbol negara akan dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun dan pidana denda paling banyak Rp1 miliar. (H-2)