Ekonomi & Bisnis Ekonom Sebut Ada Anomali dalam Pengelolaan Fiskal Indonesia

Ekonom Sebut Ada Anomali dalam Pengelolaan Fiskal Indonesia

92
0
Ekonom Sebut Ada Anomali dalam Pengelolaan Fiskal Indonesia
MANAJER Riset Sekretaris Nasional Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) Badiul Hadi(Dok. MI)

MANAJER Riset Sekretaris Nasional Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) Badiul Hadi menilai ada anomali dalam pengelolaan kebijakan fiskal Indonesia. Itu karena defisit anggaran yang kerap disebut terkendali besar kemungkinan ditopang oleh utang.

“Itu anomali, dan menegaskan pemerintah memang sedang mengalami problem sangat serius dalam pengelolaan fiskal. Pengelolaan fiskal masih sangat bergantung pada utang.” ujarnya saat dihubungi, Kamis (26/12).

Posisi utang pemerintah hingga November 2024 tercatat sebesar Rp8.680,13 triliun. Nilai tersebut meningkat 1,40%, sekitar Rp119,77 triliun dari bulan sebelumnya yang tercatat Rp8.560,36 triliun. Jumlah tersebut, kata Badiul, baru menggambarkan besaran utang pokok, belum termasuk beban bunga yang mesti dibayar.

Kondisi tersebut membuat ruang fiskal negara menyempit. Padahal program-program prioritas pemerintah yang akan dieksekusi memerlukan anggaran besar. Upaya ekstra diperlukan untuk memperbaiki kondisi APBN.

Namun itu tak serta merta pemerintah mengambil jalan pintas, atau jalan termudah untuk meningkatkan penerimaan negara. Optimalisasi perusahaan-perusahaan BUMN, misalnya, kata Badiul, merupakan salah satu cara yang bisa ditempuh untuk mendongkrak pendapatan negara.

Ia juga menyoroti perihal pengaburan fakta yang dilakukan pemerintah. Sebab, acap kali pembuat keputusan membandingkan kondisi utang dengan negara-negara yang memiliki kapasitas ekonominya jauh lebih baik dan maju dari Indonesia.

“Membandingkan Indonesia dengan negara yang secara ekonomi lebih baik, apalagi membandingkan dengan negara maju, itu sangat tidak relevan. Pemerintah justru lebih baik terbuka saja atas kondisi sesungguhnya pada masyarakat dan minta maaf kepada masyarakat,” terang Badiul.

Perihal utang sebelumnya juga dikritisi oleh Ekonom Senior sekaligus pendiri Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Didik J. Rachbini. “Ini mencerminkan politik anggaran yang tidak sehat. Pemerintah terlalu gemar berutang, mengikuti teori ‘budget maximizer’ tanpa kontrol dan mekanisme checks and balances yang memadai,” ungkap Didik.

Tingginya suku bunga obligasi utang Indonesia juga menjadi sorotan tajam. Tingkat bunga yang ditawarkan Indonesia di kisaran 7,2%, menjadi yang tertinggi di ASEAN.

Bunga tersebut jauh di atas Thailand (2,7%), Vietnam (2,8%), dan Malaysia (3,9%). “Ini jelas menguras pajak rakyat. Setiap tahun, kita harus membayar bunga utang sebesar Rp441 triliun, hanya untuk memenuhi nafsu utang pemerintah,” ujar Didik.  

Lebih jauh, Didik menyoroti alokasi belanja negara yang semakin tidak produktif. Porsi belanja nonproduktif seperti belanja pegawai dan barang meningkat dari 34% pada 2014 menjadi 36% di 2024, sementara belanja produktif terus menyusut.

“Dampaknya tidak hanya terasa sekarang, tetapi juga akan membebani pemerintahan mendatang. Struktur anggaran kita semakin tidak sehat,” terangnya. (Z-9)

Tinggalkan Balasan