

UTILISASI kapasitas produksi industri keramik terus merosot dalam tiga tahun terakhir. Hal itu akibat serbuan keramik impor yang terus membanjiri pasar domestik hingga kini.
Ketua Umum Asosiasi Aneka Industri Keramik Indonesia (Asaki) Edy Suyanto saat dihubungi, Kamis (26/12), mengatakan utilisasi pabrik industri keramik turun sejak 2022. Saat itu, mesin-mesin pabrik yang beroperasi hanya 78% dari kapasitas produksi. Utilisasi berlanjut turun tahun berikutnya dengan utilisasi 69%.
“Pada 2024 ini, utilisasi hanya berkisar 66%. Banyak mesin yang menganggur,” ujarnya.
Lesunya kinerja industri keramik itu, sambungnya, karena pemerintah terus membuka keran impor. Keramik asal Tiongkok dan India terus membanjiri pasar. Kebijakan yang melindungi produk buatan dalam negeri pun tak kunjung hadir.
Situasi itu juga diperparah oleh tersendatnya pasokan gas ke pabrik dari Pertamina Gas Negara (PGN) dalam beberapa bulan terakhir. “Ditambah lagi dengan daya beli masyarakat yang turun. Utilisasi produksi terus turun,” keluhnya.
Edy mengakui pemerintah sejatinya telah mengeluarkan sejumlah kebijakan untuk mengerem masuknya keramik impor. Salah satunya dengan menerbitkan kebijakan Bea Masuk Anti Dumping (BMAD) terhadap keramik impor asal Tiongkok dan Kebijakan SNI Keramik Wajib pada Oktober lalu.
“Namun Asaki terus menagih dan mendesak Kemenkeu perihal lambannya penetapan perpanjangan BMTP (Bea Masuk Tindakan Pengamanan) atas keramik impor dari Tiongkok, India, dan Vietnam yang telah habis masa berlakunya pada November lalu. Padahal BMTP itu jadi safeguard industri keramik dalam negeri,” ungkapnya.
Saat ditanya proyeksi industri pada 2025, Edy optimistis industri keramik akan rebound pada tahun depan. Hal itu tak lepas dari program pemerintah yang akan membangun tiga juta rumah tiap tahun mulai tahun depan.
“Utilisasi bisa naik ke level 75%-80% asalkan produk impor direm pemerintah. Program pembangunan tiga juta rumah mulai 2025 akan menciptakan demand yang sangat signifikan atau setara dengan peningkatan utilisasi produksi sekitar 15%,” bebernya.
Ia juga berharap industri keramik mendapat insentif dari pemerintah lewat penyediaan gas murah. Pasokan gas dari PGN juga diharapkan kembali lancar supaya tak mengganggu kelancaran proses produksi.
“Asaki sangat meminta keseriusan Kementerian ESDM untuk mencarikan solusi bagi industri pemakai gas yang dipaksa membayar gas yang sangat mahal, sampai US$13,85/mmbtu. Ini yang membuat industri keramik tidak berdaya saing, baik untuk menghadapi produk impor maupun untuk bersaing merebut pasar Keramik di kawasan Regional Asia Tenggara,” imbuhnya. (Fal/E-2)