IndonesiaDiscover –
UMAT manusia tengah merayakan pergantian tahun dan menyambut tahun baru 2025. Banyak pihak merayakan penyambutan datangnya tahun baru 2025 dengan berbagai acara. Ucapan selamat tahun baru atau happy new year pun banyak berkumandang.
Ada yang merayakan tahun baru 2025 dengan mengadakan konser musik, bakar ayam dan ikan, atau sekadar syukuran biasa. Namun bagaimana hukum merayakan tahun baru bagi umat Islam? Apalagi yang dirayakan kini tahun baru Masehi bukan Hijriah.
Dan bagaimana hukum mengucapkan selamat tahun baru? Lebih jelasnya, berikut pendapat para ulama dalam merayakan tahun baru dan mengucapkan selamat tahun baru atau happy new year.
1. Hukum merayakan tahun baru.
Setelah menelaah berbagai literatur, dijumpai keterangan perihal kebolehan merayakan momentum tahun baru selama tidak diisi dengan kemaksiatan seperti tindakan huru-hara, balap liar, tawuran, pacaran, dan lain sebagainya. Setidaknya ada dua pendapat ulama terkait hal ini.
a. Pendapat Syekh Athiyyah Shaqr.
Kebolehan merayakan tahun baru tanpa kemaksiatan itu disampaikan Guru Besar Al-Azhar Asy-Syarif serta Mufti Agung Mesir Syekh Athiyyah Shaqr (wafat 2006 M). Dalam kompilasi fatwa ulama Al-Azhar, Syekh Athiyyah menyatakan sebagai berikut.
وَقَيْصَرُ رُوْسِيَا “الإِسْكَنْدَرُ الثَّالِثُ” كَلَّفَ الصَّائِغَ “كَارِلْ فَابْرَج” بِصَنَاعَةِ بَيْضَةٍ لِزَوْجَتِهِ 1884 م، اسْتَمَرَّ فِي صُنْعِهَا سِتَّةَ أَشْهُرٍ كَانَتْ مَحِلَّاةً بِالْعَقِيْقِ وَالْيَاقُوْتِ، وَبَيَاضُهَا مِنَ الْفِضَّةِ وَصِفَارُهَا مِنَ الذَّهَبِ، وَفِى كُلِّ عَامٍ يَهْدِيْهَا مِثْلَهَا حَتَّى أَبْطَلَتْهَا الثَّوْرَةُ الشُّيُوْعِيَّةُ 1917 م. وَبَعْدُ، فَهَذَا هُوَ عِيْدُ شَمِّ النَّسِيْمِ الَّذِي كَانَ قَوْمِيًّا ثُمَّ صَارَ دِيْنِيًّا فَمَا حُكْمُ احْتِفَالِ الْمُسْلِمِيْنَ بِهِ؟ لَا شَكَّ أَنَّ التَّمَتُّعَ بِمُبَاهِجِ الْحَيَاةِ مِنْ أَكْلٍ وَشُرْبٍ وَتَنَزُّهٍ أَمْرٌ مُبَاحٌ مَا دَامَ فِى الْإِطَارِ الْمَشْرُوْعِ الَّذِي لَا تُرْتَكَبُ فِيْهِ مَعْصِيَّةٌ وَلَا تُنْتَهَكُ حُرْمَةٌ وَلَا يَنْبَعِثُ مِنْ عَقِيْدَةٍ فَاسِدَةٍ
Kaisar Rusia Alexander III pernah mengutus seorang tukang emas Karl Fabraj guna membuat topi baja untuk istrinya pada 1884 M. Proses pembuatannya berlangsung selama 6 bulan. Topi itu ditempeli batu akik dan permata. Warna putihnya dari perak dan warna kuningnya dari emas.
Di setiap tahun, ia menghadiahkan topi serupa kepada istrinya hingga kemudian istrinya ditumbangkan oleh pemberontakan kelompok komunisme pada 1917 M. Mulanya acara ini merupakan suatu perayaan Sham Ennesim (Festival nasional Mesir yang menandai dimulainya musim semi) yang merupakan tradisi lokal Mesir lantas berubah menjadi tradisi keagamaan.
Lalu bagaimanakah hukum memperingati dan merayakannya bagi seorang muslim tidak diragukan lagi bahwa bersenang-senang dengan keindahan hidup yakni makan, minum, dan membersihkan diri merupakan sesuatu yang diperbolehkan selama masih selaras dengan syariat, tidak mengandung unsur kemaksiatan, tidak merusak kehormatan, dan bukan berangkat dari akidah yang rusak. (Wizarah Al-Auqof Al-Mishriyyah, Fatawa Al-Azhar, juz X, halaman 311).
b. Syekh Sayyid Muhammad bin Alawi Al-Maliki.
Pendapat Syekh Athiyyah itu diperkuat dengan fatwa yang dirilis oleh Mufti Agung Mesir, ulama pakar hadis terkemuka asal Haramain, Syekh Sayyid Muhammad bin Alawi Al-Maliki, (wafat 2004 M) dalam kitabnya.
جَرَتْ عَادَاتُنَا أَنْ نَجْتَمِعَ لإِحْيَاءِ جُمْلَةٍ مِنَ الْمُنَاسَبَاتِ التَّارِيْخِيَّةِ كَالْمَوْلِدِ النَّبَوِيِّ وَذِكْرَى الْإِسْرَاءِ وَالْمِعْرَاجِ وَلَيْلَةِ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ وَالْهِجْرَةِ النَّبَوِيَّةِ وَذِكْرَى نُزُوْلِ الْقُرْآنِ وَذِكْرَى غَزْوَةِ بَدْرٍ وَفِى اعْتِبَارِنَا أَنَّ هَذَا الْأَمْرَ عَادِيٌّ لَا صِلَةَ لَهُ بِالدِّيْنِ فَلَا يُوْصَفُ بِأَنَّهُ مَشْرُوْعٌ أَوْ سُنَّةٌ كَمَا أَنَّهُ لَيْسَ مُعَارِضًا لِأَصْلٍ مِنْ أُصُوْلِ الدِّيْنِ لأَنَّ الْخَطَرَ هُوَ فِى اعْتِقَادِ مَشْرُوْعِيَّةِ شَيْءٍ لَيْسَ بِمَشْرُوْعٍ
Sudah menjadi tradisi bagi kita berkumpul untuk menghidupkan berbagai momentum bersejarah, seperti maulid nabi, peringatan isra mikraj, malam nishfu syakban, tahun baru hijriyah, nuzulul Qur’an, dan peringatan perang Badar. Menurut pandanganku, peringatan-peringatan seperti ini merupakan bagian daripada tradisi, yang tidak terdapat korelasinya dengan agama, sehingga tidak bisa dikategorikan sebagai sesuatu yang disyariatkan ataupun disunahkan.
Kendati demikian, juga tidak berseberangan dengan dasar-dasar agama, sebab yang justru mengkhawatirkan ialah timbulnya keyakinan terhadap disyariatkannya sesuatu yang tidak disyariatkan. (Sayyid Muhammad bin Alawi Al-Maliki, Mafahim Yajibu an Tushahihah, [Surabaya: As-Shafwah Al-Malikiyyah], halaman 337-338).
Kesimpulannya, melihat dua referensi di atas dapat disimpulkan bahwa peringatan momentum tahun baru dalam pandangan Islam masuk dalam kategori adat istiadat ataupun tradisi yang tidak memiliki korelasi dengan agama. Dengan demikian, hukumnya bagi seorang muslim boleh-boleh saja merayakan pergantian tahun baru tersebut selama tidak diiringi dengan kemaksiatan. Wallahu a’lam bishshawab.
Baca juga: Keutamaan Bulan Rajab dan Amalan Puasa, Doa, serta Zikirnya
2. Hukum mengucapkan selamat tahun baru.
Berkenaan dengan hukum mengucapkan selamat tahun baru, ada pandangan yang disampaikan As-Syirwani dalam Hawasyis Syirwani. Ini disampaikan Ustaz A Zaeini Misbaahuddin Asyuari, alumnus Ma’had Aly Lirboyo Kediri dan pegiat literasi pesantren.
قَالَ الْقَمُولِيُّ لَمْ أَرَ لِأَحَدٍ مِنْ أَصْحَابِنَا كَلَامًا فِي التَّهْنِئَةِ بِالْعِيدِ وَالْأَعْوَامِ وَالْأَشْهُرِ كَمَا يَفْعَلُهُ النَّاسُ لَكِنْ نَقَلَ الْحَافِظُ الْمُنْذِرِيُّ عَنْ الْحَافِظِ الْمَقْدِسِيَّ أَنَّهُ أَجَابَ عَنْ ذَلِكَ بِأَنَّ النَّاسَ لَمْ يَزَالُوا مُخْتَلِفِينَ فِيهِ وَاَلَّذِي أَرَاهُ مُبَاحٌ لَا سُنَّةَ فِيهِ وَلَا بِدْعَةَ
Imam Al-Qamuli berkata, “Aku tidak menemukan satu pun pendapat dari ashab Asy-Syafii perihal ucapan selamat hari raya Idul Fitri dan Idul Adha, ucapan selamat pergantian tahun, dan pergantian bulan sebagaimana yang kerap dilakukan oleh kebanyakan orang.
Baca juga: Bacaan Doa Awal Bulan, Awal Tahun, dan Akhir Tahun
Namun Al-Hafizh Al-Mundziri pernah mengutip bahwa Syekh Al-Hafizh Abu Hasan Al-Maqdisi suatu ketika pernah ditanya tentang hal ini, lantas beliau menjawab, selalu terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama mengenai hal tersebut.
Karena itu, menurut pendapatku, ucapan selamat tersebut hukumnya mubah (diperbolehkan), bukan sunah dan bukan pula bidah.” (Abdul Hamid As-Syirwani, Hawasyis Syirwani, [Beirut, Darul Fikr: 2019], juz III, halaman 62).
Kesimpulannya, merayakan momentum tahun baru dengan berbagai bentuknya serta mengucapkan selamat tahun baru atau Happy New Year menurut perspektif kajian Islam merupakan hal yang mubah (diperkenankan), selama tidak dilakukan dengan cara-cara yang tidak sesuai dengan syariat, seperti tindak kemaksiatan.
Meski begitu, alangkah baiknya bagi kita untuk memaknai pergantian tahun baru ini sebagai momentum untuk mengevaluasi diri agar lebih memaksimalkan ibadah ke depan dengan ungkapan syukur. Selain itu, yang tak kalah penting dalam momentum pergantian tahun ialah memohon kepada Allah subhanahu wa ta’ala agar senantiasa memberikan kita kekuatan untuk menjalankan kebaikan dan ketaatan serta dijauhkan dari segala marabahaya. Wallahu a’lam bishshawab. (Z-2)