SUDAH sekitar seperempat abad, usia otonomi daerah di Indonesia berjalan sejak pertama kali digulirkan. Namun, komitmen pelaksanaan dan pengawasannya belum sepenuhnya berjalan secara optimal dan masih terjadi tumpang tindih kewenangan antara pemerintah pusat dan daerah.
Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD), Herman N. Suparman menjelaskan bahwa pelaksanaan otonomi daerah yang merupakan bagian dari tujuan asas desentralisasi pada tahun 2024, semakin terlihat jauh dari hakikat awal pembentukannya.
“Prinsip otonomi daerah kini sudah mulai keluar dari koridor yang kita cita-citakan sejak awal. Kami melihat kinerja pelayanan itu masih amburadul, tahun depan itu sudah 2025 artinya 25 tahun pasca reformasi, justru yang kita lihat adalah banyak terjadi penarikan-penarikan aturan perundangan ke pemerintah pusat,” katanya dalam diskusi media bertajuk ‘Catatan Otonomi Daerah 2024’ di Jakarta pada Jumat (20/12).
Herman menjelaskan pembentukan otonomi daerah dalam bernegara diharapkan dapat membawa pada kondisi kemandirian bangsa, demokratisasi pemerintahan, efisiensi dan efektivitas administrasi pemerintahan yang berujung pada kesejahteraan masyarakat, namun pemerintah pusat kerap kali menganggap proses otonomi daerah sebagai suatu yang instan.
“Dan kami melihat itu sebagai bentuk ketidaksabaran pemerintah pusat melihat persoalan daerah. Langsung mengambil jalan-jalan cepat, jadi dilakukan tarikan dan langsung dibuat perundangannya ke pusat sehingga mulai terlihat seperti sentralistik,” ujarnya.
Herman menilai, pola sentralistik tersebut mulai terasa pada masa pemerintahan Presiden Joko Widodo periode kedua. Kendati Jokowi pernah menjadi walikota dan gubernur, hal itu tak membuatnya mampu memahami prinsip otonomi daerah.
“Jokowi sebagai seorang mantan walikota dan gubernur, tapi faktanya lima tahun terakhir pada 2019-2024, banyak kebijakan-kebijakan yang justru menjadi sentralistik, di mana banyak urusan daerah yang harus ditarik ke pemerintah pusat,” katanya.
Menurut Herman, tata kelola pemerintahan dan hubungan yang dibuat sentralistik dengan memaksa daerah mengikuti irama pemerintah pusat, akan berdampak pada tergerusnya inovasi dan kreativitas. Dikatakan bahwa pemda menjadi takut dalam melakukan terobosan hingga membuat daerah ketergantungan anggaran.
“Karena itu, tahun 2025 nanti kita punya kesempatan untuk merevisi undang-undang pemda, kita dudukkan kembali pembagian antara urusan antara pusat dan pemerintah daerah. Sekarang itu ada 32 urusan yang dikendalikan pemda,” imbuhnya.
Herman menjelaskan bahwa banyak undang-undang sektoral dari pemerintah pusat yang justru membajak undang-undang mengenai pemerintah daerah. Hal itu kemudian membuat kerangka kebijakan nasional dan daerah semakin tumpang tindih.
“Kalau kita bicara hubungan keuangan pusat daerah, misalnya undang-undang Cipta Kerja dan undang-undang Minerba, itu juga terjadi inkonsistensi dan bertentangan dengan UU Pemda. Kami mengatakan berbagai UU sektoral yang dibuat pusat itu mulai menggusur kekuatan undang-undang pemda,” katanya.
Sementara itu, Analis Kebijakan KPPOD Eduardo Edwin Ramda menjelaskan, setelah kebijakan UU Cipta Kerja dan UU Minerba dijalankan, justru membuat pelayanan publik tidak fleksibel dan harus bergantung pada pusat.
“Sekarang kewenangan ekonomi daerah khususnya dalam pendanaan modal, pusat sering kali mengintervensi misalnya lewat UU Ciptaker, ini adalah manifestasi dari sentralisasi pemerintahan secara finansial. Kenapa ini terjadi? Lagi-lagi karena pusat tidak percaya dengan daerah,” imbuhnya.
Eduardo tak menafikkan bahwa masih terdapat ego sektoral pemerintah pusat yang mengakibatkan tidak adanya kepercayaan kepada pemerintah daerah. Pada akhirnya, politisasi nasional dan lokal membuat jalannya pemerintahan daerah sering terganggu.
“Karakter pemerintah pusat adalah sekumpulan entitas yang sentralistik. Ketika terjadi masalah di daerah, kerap kali menyalahkan daerah, solusinya bukan diperbaiki, tapi harus langsung mengintervensi. Pusat terlalu dini mengambil kesimpulan dan akhirnya mengingkari asas otonomi daerah,” tuturnya.
Menurut Eduardo, jika kendala ini terus dibiarkan, akan terjadi impotensi pemerintah daerah dalam mengembangkan wilayahnya. Salah satu yang akan terdampak kata Eduar, ialah semakin tergantungnya anggaran fiskal daerah dengan transfer pusat.
“Daerah berpotensi tidak bisa leluasa bekerja karena terbatas dengan aturan undang-undang yang di pusat. Banyak kendala otonomi daerah karena persoalan itu, daerah tidak berani melaksanakan berbagai kebijakan karena nanti takut berhalangan dengan ketentuan dari pusat,” katanya.
Atas dasar itu, Eduar mendorong pemerintah pusat melalui Kemendagri dan Kemenkeu untuk mengubah alat ukur pengawasan terkait kinerja daerah yang tidak hanya berorientasi pada regulasi namun juga output dan outcomes (hasil).
“Indikator harus diperjelas supaya membuat daerah kreatif. Harusnya dari segi pengaturan atau cara pengawasan, pemerintah pusat jangan memperketat pada pada sisi regulasi, tapi maksimalkan pada sisi hasil. Jadi silahkan daerah melakukan apa saja, tapi otuput dan outcomenya misalnya peningkatan ekonomi, inflasi jangan sampai meningkat dan lainnya,” pungkasnya. (S-1)