

DALAM kurun waktu 2025-2029, perekonomian nasional berpotensi tumbuh pada rentang 5,4 – 8,2 persen per tahun. Hasil kajian menunjukkan untuk merealisasikannya, Indonesia perlu melakukan transformasi sistem pangan dan pertanian, bukan sekadar swasembada pangan.
Tim kajian Foresight and Metrics to Accelerate Food, Land, and Water System Transformation membeberkan hasil kajian tersebut dalam kegiatan diseminasi informasi, di Jakarta, Kamis (19/12/2024).
Tim tersebut terdiri dari para peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB University dan Bappenas, yang didukung oleh The International Food Policy Research Institute (IFPRI) dan Alliance Bioversity International and CIAT (ABC). Peneliti Utama BRIN Erizal Jamal dan Guru Besar IPB University Sahara memimpin tim kajian.
Menurut hasil kajian, untuk mewujudkan target pertumbuhan 8 persen yang dicanangkan pemerintahan Presiden Prabowo Subianto, diperlukan dukungan kebijakan yang konsisten. Utamanya, dalam pengembangan sumber-sumber pertumbuhan, seperti investasi sektor riil, peningkatan nilai tambah, hilirisasi produk unggulan melalui penguatan ekosistem inovasi, terobosan riset dan pengembangan (R&D), serta peningkatan kapasitas sumberdaya manusia.
Lebih lanjut, sektor yang perlu disasar yakni pertanian. “Transformasi sistem pangan dan pertanian Indonesia menjadi prasyarat penting bagi pencapaian pertumbuhan ekonomi tinggi, keluar dari middle income trap (MIT) dan sasaran Indonesia Emas 2045,” ujar Erizal dalam keterangan tertulis yang diterima Media Indonesia.
Erizal menekankan untuk mencapai pertumbuhan ekonomi 8 persen pada tahun 2028-2029 seperti visi pemerintahan Prabowo, target untuk mencapai swasembada pangan pada saat bersamaan harus didukung berbagai langkah kebijakan yang dapat memacu peningkatan produktivitas komoditas pertanian bernilai tinggi.
Hasil kajian tersebut melalui analisis komprehensif yang menggunakan data historis sektoral Indonesia sejak dekade1970-an serta kajian komparasi lintas negara Asia yang meliputi Tiongkok, India, Malaysia, Vietnam dan Thailand.
Indonesia sedianya pernah mengalami pertumbuhan ekonomi di atas 8 persen pada 1973, 1977, 1980 dan 1995. Pada tahun 70-an pertumbuhan yang tinggi ditunjang oleh booming harga minyak bumi.
Kemudian, pertumbuhan ekonomi tinggi tahun 1980 dan 1995 didukung oleh pertumbuhan Industri dan peningkatan produksi pertanian pangan, melalui masifnya penerapan teknologi dan inovasi.
Beberapa negara Asia mengalami pertumbuhan lebih tinggi dari 8 persen, utamanya Tiongkok dan Vietnam, didukung oleh pertumbuhan tinggi pada Total Factor Productivity (TFP). Itu mencerminkan pengembangan teknologi dan inovasi, terutama pada sektor pertanian.
Pertumbuhan TFP pertanian Tiongkok sepanjang 1998-2007 berkisar 4-5 persen per tahun, sedangkan Indonesia hanya mencatat pertumbuhan TFP pertanian periode tersebut sebesar 1-2 persen per tahun. Dari sisi pengeluaran, pertumbuhan tinggi di Tiongkok juga didukung tingginya pertumbuhan konsumsi rumah tangga, tabungan, dan ekspor.
Para peneliti membedah hasil kajian transformasi pertanian. (ITAPS FEM IPB)
Efisiensi investasi
Pertumbuhan ekonomi Tiongkok didukung oleh tingginya efisiensi investasi yang digambarkan oleh nilai Incremental Capital Output Ratio (ICOR) di bawah 5. Pada saat yang sama nilai ICOR Indonesia sekitar 6,2. ICOR menunjukkan besarnya tambahan kapital (investasi) baru yang dibutuhkan untuk menaikkan tiap unit output.
“Untuk dapat tumbuh di atas 8 persen, berkaca dari pengalaman China, maka pertanian Indonesia harus tumbuh 3 kali lipat dari kondisi pertumbuhan saat ini,” ujar Erizal.
Menurut hasil kajian tim, kata Erizal, agar pertumbuhan ekonomi Indonesia dapat mencapai 8 persen pada tahun 2028-2029, pertanian harus tumbuh minimal 5,8% per tahun mulai tahun depan.
Pertumbuhan pertanian sebesar itu dapat dicapai dengan memaksimalkan pengembangan komoditas yang mempunyai potensi pertumbuhan tinggi,
utamanya komoditi bernilai ekonomi tinggi seperti hortikultura, perkebunan, peternakan dan perikanan. Peternakan berpotensi tumbuh sekitar 4,8% per tahun, sementara perikanan sekitar 6,6%.
Guru Besar IPB University Prof Dr Sahara, SP, M Si (ITAPS FEM IPB)
Visi industrialisasi
Strategi penguatan hilirisasi pangan dan pertanian dalam arti luas untuk memastikan proses reindustrialisasi yang lebih merata di beberapa wilayah Indonesia, mampu menghasilkan nilai tambah tinggi, menciptakan lapangan kerja baru dan berkontribusi pada pengentasan kemiskinan dan pemerataan Pembangunan.
Target swasembada dapat dimulai pada beras sebagai pangan pokok, kemudian menyusul komoditas komoditas lain bernilai ekonomi tinggi, bervisi industrialisasi, pengolahan lanjutan yang lebih sofistikasi, baik untuk memenuhi pasar domestik, maupun pasar ekspor. “Upaya ini perlu didukung dengan peningkatan nilai TFP melalui pengembangan teknologi dan inovasi secara masif, ditunjang oleh peningkatan dana penelitian dan pengembangan (R&D), peningkatan kapasitas peneliti dan sistem diseminasi yang memadai,” imbuh Sahara.
Selain itu pengembangan sektor tersier atau jasa, yang berpotensi tumbuh tinggi perlu dukungan kebijakan yang memberikan kepastian usaha, dukungan aransemen kelembagaan yang memungkinkan proses transformasi perekonomian berjalan sesuai yang direncanakan.