Nasional Mewaspadai Penuaan Umur Perkawinan Perempuan

Mewaspadai Penuaan Umur Perkawinan Perempuan

6
0

IndonesiaDiscover –

Mewaspadai Penuaan Umur Perkawinan Perempuan
(Dok. Pribadi)

MENURUNNYA angka kelahiran disertai penuaan penduduk kini tengah menjadi persoalan kependudukan yang cukup krusial di Tanah Air. Penurunan angka kelahiran yang terlalu cepat yang disertai dengan peningkatan penduduk usia tua dikhawatirkan akan mendistorsi produktivitas nasional dan menghambat kemajuan bangsa. Turunnya angka kelahiran akan menurunkan jumlah penduduk usia produktif dan meningkatnya beban untuk mensupport penduduk usia tua.

Kini, angka kelahiran total (total fertility rate/TFR) atau rata-rata banyaknya anak yang dilahirkan oleh seorang ibu sepanjang masa kesuburannya mendekati penduduk stabil (TFR 2,1). Namun, hal itu tampaknya tidak bertahan lama karena setelah itu TFR akan terus menurun dan berada di bawah penduduk stabil. Proyeksi BPS tentang penduduk Indonesia 2020-2050 menunjukkan TFR pada 2035 menjadi 2,02 dan terus menurun menjadi 1,95 pada 2045.

Celakanya, pada kurun waktu yang hampir bersamaan, penduduk lanjut usia terus bertambah dari 11,1% pada 2023 menjadi 20,3% pada 2045.

 

Faktor penyebab

Adapun salah satu faktor penyebab terjadinya penurunan kelahiran yang disertai dengan penuaan penduduk ialah penuaan umur perkawinaan. Pada 1970-an, mayoritas penduduk, terutama pada perempuan, melangsungkan perkawinan pada usia muda.

Secara faktual, hal itu umum terjadi di banyak negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Studi yang dilakukan oleh Goode (1969) di sejumlah negara mayoritas beragama Islam menyebutkan bahwa perempuan akan melangsungkan perkawinan segera setelah mencapai usia ‘akil balig’. Hal itu, antara lain ditandai dengan ‘menstruasi’ pertama kali.

Perempuan yang melangsungkan perkawinan pada usia muda berpotensi memiliki banyak anak mengingat interval kesuburuannya yang panjang. Diketahui, pada 1970-an angka TFR 5,6 yang ditengarai akibat cukup banyaknya perempuan melangsungkan perkawinan pada usia muda.

Kondisi pada lima dekade lalu itu cukup memungkinkan perempuan menikah di usia muda, antara lain karena ‘perjodohan’. Namun, kini perjodohan ke upaya mandiri mencari jodoh sendiri. Pergeseran itu boleh jadi akibat kian menipisnya aset keluarga, terutama lahan pertanian di perdesaan untuk mendukung tambahan keluarga baru dari perkawinan anak.

Sejatinya, keputusan untuk menikah atas upaya mandiri memang tidak mudah dilakukan karena perlu modal. Sementara itu, masih cukup tingginya angka pengangguran usia muda dan rendahnya pendapatan pekerja, terutama pada usia muda. Maka itu, keputusan untuk menikah semakin sulit dilakukan.

Selain itu, penurunan angka kelahiran juga dipengaruhi oleh faktor modernisasi, seperti yang terjadi di Eropa Barat. Menurut David Yaukey (1985) mengatakan faktor modernisasi dengan ciri rasionalitas cara berpikir merupakan hal mendasar dalam memiliki anak.

Pada masyarakat modern, keputusan memiliki anak umumnya didasarkan pada prinsip ekonomi dan efisiensi dan menekankan pada kualitas anak. Maka, itu keputusan memiliki anak disesuaikan dengan kemampuan orangtua, yang umumnya menginginkan anak sedikit. Sementara itu, pada masyarakat yang belum banyak tersentuh arus modernisasi, keputusan memiliki anak umumnya dikaitkan dengan faktor produksi untuk menambah pendapatan keluarga dan penjamin hari tua.

Bahkan, faktor modernisasi turut memengaruhi perempuan untuk tidak melakukan pernikahan (Coale, 1973) dan berpotensi tidak memiliki anak. Hal itu hampir sama dengan pasangan suami istri yang juga tidak menginginkan memiliki anak atau kerap disebut child free.

 

Program KB 

Tuurunnya angka kelahiran akibat penuaan umur perkawinan pada gilirannya menyebabkan ekosistem program KB berubah. Jika sebelumnya penggunaan alat/cara KB menjadi andalan dalam menurunkan angka kelahiran. Namun, kini penuaan umur perkawinan berkontribusi besar dalam penurunan angka kelahiran.

Fenomena seperti itu tampaknya mirip dengan yang terjadi di Eropa Barat yang mana program KB bukan faktor utama dalam penurunan angka kelahiran, melainkan penuaan umur perkawinan dan tidak kawin. Akibatnya, kini sejumlah negara di Eropa Barat mengalami penyusutan jumlah penduduk (shrinking population). Badan PBB memproyeksikan pada 2020-2026, penduduk Italia, misalnya, menyusut 0,9%. Fenomena serupa kini menimpa sejumlah negara di Asia, seperti Tiongkok dan Jepang.

Patut diketahui, pada 70-an, Bongaarts menyebutkan bahwa selain umur perkawinan perempuan, faktor aborsi dan pemberian air susu ibu (ASI) secara eksklusif juga dapat menurunkan angka kelahiran. Namun, khusus aborsi tidak mendapat tempat di banyak negara, termasuk Indonesia. Sementara itu, ASI eksklusif belum dapat diandalkan dalam menurunkan angka kelahiran karena memerlukan kedisiplinan yang ketat dalam pemberian ASI.

Maka itu, untuk mengantisipasi turunnya angka kelahiran agar tidak berada di bawah replacement level akibat penuaan umur perkawinan, diperlukan kehati-hatian dalam melaksanakan program KB. Dalam konteks itu, tampaknya cukup sulit jika dilakukan oleh BKKBN sendirian sehingga diperlukan kolaborasi dengan sejumlah institusi dan lembaga lain, termasuk didalamnya lembaga riset dan perguruan tinggi untuk meneliti secara mendalam terjadinya fenomena penuaan umur perkawinan.

Pengetahuan tentang rendahnya pendapatan sehingga menjadi penghambat untuk melangsungkan perkawinan, misalnya, dapat menjadi masukan bagi kementerian ketenagakerjaan untuk memperbaiki pasar kerja (labor market).

 

Tinggalkan Balasan