INDUSTRI perikanan dan kelautan merupakan industri yang kompleks. Bukan hanya mengenai ekonomi biru, industri ini juga banyak berkaitan dengan eksplorasi kesempatan baru, seperti yang saat ini tengah populer dengan sebutan “emas hijau”. Ada pula pemberdayaan perempuan, mereka yang banyak berjasa untuk mengedepankan industri perikanan dan kelautan Indonesia.
Sebagai pelaku aktif dalam industri tersebut, Aruna menyampaikan mengenai ekonomi biru, budidaya rumput laut, juga pemberdayaan perempuan di berbagai agenda internasional. Beberapa agenda internasional tersebut termasuk “Connecting Land Agriculture with Blue Economy and Role of Digitalisation” oleh Agri-Food Tech Expo Asia 2024 (20/11) dan “Who Holds the Key to Growth in the Emerging Seaweed Markets” oleh Asia-Pacific Agri-Food Innovation Summit 2024 di Singapura (21/11), juga “The Role of Women in Fishing Communities and New Challenges” oleh International Conference of Fishing Communities di Jeju, Korea Selatan (25/11).
Co-Founder dan Chief Sustainability Officer Aruna, Utari Octavianty menjelaskan tentang keberlanjutan dalam industri agrikultur dan tantangan yang ada di dalamnya, yakni biaya logistik yang tinggi dan infrastruktur yang terbatas.
“Sebelum berfokus pada pengimplementasian ekonomi biru, hal pertama yang Aruna temukan adalah tantangan terkait biaya logistik yang relatif tinggi. Untuk menyiasati hal tersebut, Aruna berfokus pada pemeliharaan rantai dingin selama proses distribusi dengan memproduksi es gel secara mandiri guna mempertahankan kualitas. Selain itu, Aruna memanfaatkan koneksinya untuk mendapatkan solusi cold storage, baik melalui entitas pemerintah maupun swasta,” kata Utari, melalui keterangannya, Jumat (13/12).
Utari menyatakan industri perikanan dan kelautan memang harus memulai langkahnya dari hal yang mendasar, seperti pemberian pelatihan yang konsisten bagi para nelayan dan masyarakat pesisir. Namun, ia menilai langkah ini cukup menantang dan membutuhkan pendampingan dalam jangka waktu yang amat panjang.
“Harus konsisten dan dimulai dari skala kecil atau skala rumahan terlebih dahulu, sebelum pindah ke skala yang lebih besar, yang mungkin memerlukan peralatan tambahan atau dukungan teknologi yang lebih masif.”
Sebagai perempuan yang telah berkecimpung di industri perikanan dan kelautan sejak 2016 lalu, Utari sangat menyadari peran perempuan dalam merealisasikan keberlanjutan ekosistem untuk realisasi ekonomi biru. Tercatat di Indonesia, ada sekitar 42% atau lebih perempuan yang terlibat dalam industri perikanan.
“Perempuan yang terlibat dalam industri perikanan itu tak terbatas pada mereka yang tinggal di wilayah pesisir saja. Ada yang mengambil peran operasional di kota, bekerja di bidang manufaktur, atau bahkan memegang posisi tingkat tinggi di pemerintahan, di mana mereka dapat berkontribusi pada perumusan kebijakan yang terkait dengan sektor perikanan,” ujar Utari.
Aruna berkomitmen untuk menjadikan advokasi dalam segala kegiatan keberlanjutan sebagai salah satu fokusnya. Hal tersebut direalisasikan melalui kehadirannya di berbagai agenda yang dapat mendorong perubahan di sektor perikanan dan kelautan.
“Secara spesifik, kami juga mengemukakan berbagai hal yang bisa mendukung implementasi ekonomi biru, eksplorasi potensi baru di bidang kelautan, juga pemberdayaan perempuan yang menyokong berjalannya industri perikanan,” tutup Utari. (M-3)