Sejumlah pihak yang terdiri dari serikat pekerja, petani tembakau, hingga asosiasi pedagang terus menyerukan desakan kepada Kementerian Kesehatan untuk membatalkan Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (Rancangan Permenkes), utamanya soal aturan penyeragaman kemasan rokok tanpa identitas merek. Aturan tersebut dinilai memberi dampak serius terhadap industri hasil tembakau serta kesejahteraan dan penghidupan pekerja dan petani tembakau.
Ketua Umum Pengurus Pusat Federasi Serikat Pekerja Rokok Tembakau Makanan Minuman – Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (FSP RTMM – SPSI), Sudarto AS, mengatakan pihaknya merasa belum mendapatkan respons berarti dari pemerintah, terutama Kementerian Kesehatan (Kemenkes). Padahal, pihaknya telah melakukan berbagai upaya agar aspirasi buruh dan pekerja dapat didengar, mulai dari ajakan dialog hingga unjuk rasa.
“Kami juga telah mengirimkan surat setiap tahun kepada presiden, aktif melakukan audiensi, dan berdialog untuk mencari solusi dari masalah-masalah yang dihadapi. Namun, ketika audiensi dilakukan, Kemenkes tidak hadir,” ungkapnya dalam diskusi media bertajuk Mengejar Pertumbuhan Ekonomi 8%: Tantangan Industri Tembakau di Bawah Kebijakan Baru, dilansir dari keterangan resmi, Rabu (6/11).
Kekecewaan yang dialami serikat pekerja mendorong RTMM melakukan aksi demonstrasi besar-besaran pada 10 Oktober lalu, dengan melibatkan ribuan anggota yang turun ke jalan di depan kantor Kemenkes yang berujung pada audiensi.
“Di audiensi kemarin, Kemenkes bilang penyeragaman kemasan rokok tanpa identitas merek ini masih jauh untuk diterapkan. Namun, ternyata Kemenkes masih terus mendorong rencana aturan ini dan kami masih belum juga dilibatkan dalam pembahasannya. Kami khawatir Kemenkes tidak menjalankan komitmennya,” ucapnya.
Sudarto menekankan bahwa dampak regulasi yang menekan industri hasil tembakau memiliki dampak besar bagi pekerja. Kebijakan fiskal maupun nonfiskal yang ketat, seperti kenaikan cukai yang tinggi, zonasi larangan penjualan, hingga larangan iklan luar ruang, mengakibatkan penurunan produksi dan berujung pada peningkatan angka Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).
Menurut data RTMM, sektor Sigaret Kretek Tangan (SKT) yang mayoritas pekerjanya menerima penghasilan berdasarkan sistem borongan, sangat terpengaruh oleh stagnansi penghasilan dan pengurangan jam kerja. Maka, perlindungan terhadap tenaga kerja di industri tembakau sangat diperlukan untuk menjaga keberlangsungan sawah ladang mereka.
Dalam 10 tahun terakhir, RTMM melihat adanya peningkatan angka PHK secara signifikan. Mayoritas pekerja yang tergabung di RTMM tersebar di 15 provinsi, 66 kabupaten/kota, dengan total anggota mencapai 227.000 pekerja.
“Namun, angka ini terus menurun akibat PHK yang disebabkan oleh regulasi yang terus menekan industri,” ungkap Sudarto.
Di samping itu, Sudarto menegaskan bahwa regulasi yang diberlakukan harus melibatkan seluruh pemangku kepentingan, termasuk pihak pekerja. “Untuk itu, kami minta pemerintah untuk mengevaluasi PP 28/2024 dan menolak Rancangan Permenkes yang tidak dibahas bersama seluruh pihak,” kata Sudarto.
Dengan desakan tersebut, RTMM berharap pemerintah segera menindaklanjuti permintaan buruh dan pekerja, sekaligus melakukan evaluasi yang komprehensif terhadap regulasi yang berdampak pada keberlangsungan hidup ratusan ribu pekerja yang menggantungkan hidup di sektor pertembakauan.
“Kami mati-matian mempertahankan hak-hak pekerja yang terancam oleh regulasi. Harapannya, pemerintah membuka ruang dialog yang lebih luas dan memberikan perhatian yang layak terhadap kesejahteraan pekerja di industri ini,” tegas dia.
Industri Tembakau Beri Kontribusi Besar
Pada kesempatan yang sama, Sekretaris Jenderal Dewan Pimpinan Nasional Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (DPN APTI), Kusnasi Mudi pun menyoroti pentingnya memasukkan tembakau sebagai salah satu komoditas strategis nasional.
Menurutnya, kontribusi sektor tembakau terhadap perekonomian Indonesia sangat besar, dengan sumbangan pajak dan cukai dari produk hasil tembakau mencapai Rp223 triliun pada tahun ini, sekitar 10-12% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
“Tembakau bukan hanya pantas, tapi harus masuk sebagai komoditas strategis nasional karena dampak ekonominya dari hulu ke hilir sangat besar,” ujar Mudi.
Mudi menambahkan bahwa tembakau memberikan manfaat ekonomi yang signifikan bagi masyarakat, petani, dan sektor pekerja yang terkait dengan industri hasil tembakau. Mudi juga menyoroti bahwa sektor tembakau merupakan sektor padat karya yang melibatkan banyak pekerja mulai dari proses penanaman, panen, hingga pascapanen.
Maka, Mudi mengingatkan pemerintah agar regulasi yang diterapkan tidak memberikan beban berlebihan pada petani dan industri tembakau. “Kalau hilirnya kena, petani di hulu pun akan terdampak, bahkan petani cengkeh juga akan merasakan dampaknya,” tambahnya.
Mudi juga menyoroti rencana penerapan aturan penyeragaman kemasan rokok tanpa identitas yang dianggap tidak sesuai dengan kondisi Indonesia. “Kalau kemasan polos diterapkan, petani kita mau dibawa ke mana? Industri hilir bisa mati, produksi kemasan dan industri iklan bisa merosot,” terangnya.
Mudi berharap pemerintah bisa menghentikan kebijakan-kebijakan yang terlalu menekan sektor tembakau karena sektor ini telah memberikan kontribusi besar bagi perekonomian dan lapangan kerja. Dengan sekitar 2,5 juta petani tembakau dan 1,5 juta petani cengkeh yang menggantungkan hidup pada sektor ini, ia berharap pemerintah lebih bijak dalam merumuskan kebijakan. (Z-11)