KEPALA Pusat Pemberdayaan Kemitraan Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme (APUPPT) Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Supriadi, meminta disahkannya Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset yang telah diperjuangkan selama 16 tahun.
Supriadi menilai perlu adanya instrumen hukum yang kuat dalam hal perampasan aset kejahatan. Terlebih, saat ini pelaku kejahatan atau koruptor memiliki modus yang canggih dalam menyembunyikan hasil kejahatan mereka. Ia juga menilai tanpa adanya RUU Perampasan Aset ini melemahkan upaya pemberantasan korupsi, pencucian uang, dan tindak pidana lainnya.
“Kasus-kasus tindak pidana seperti pencucian uang berkembang semakin rumit dengan beragam modus yang terus bertransformasi seiring perkembangan teknologi. Canggih dan rumit. Tanpa RUU ini, pelaku tindak pidana akan semakin leluasa menyembunyikan hasil kejahatan mereka, yang pada akhirnya merugikan negara secara material maupun immaterial,” kata Supriadi dalam Kelas Literasi bertajuk ‘Mengapa RUU Perampasan Aset Harus Segera Disahkan?’, Rabu (20/11).
Supriadi menilai dampak dari tidak adanya mekanisme dalam perampasan aset akan merugikan finansial negara dan juga menggerus kepercayaan publik terhadap penegakan hukum. Ketidakmampuan memulihkan aset hasil kejahatan, kata ia, bakal mencederai hak-hak masyarakat dan melemahkan integritas sistem hukum.
“PPATK sangat menyadari dampak serius yang akan terjadi jika RUU Perampasan Aset tidak segera disahkan. Koruptor memiliki lebih banyak peluang untuk menyembunyikan kekayaan mereka. Akibatnya, kerugian negara akibat korupsi akan terus berlanjut,” imbuhnya.
Supriadi juga menekankan pentingnya pengesahan RUU Perampasan Aset untuk memperkuat kerja sama internasional. Ia mengatakan banyak aset hasil kejahatan yang disembunyikan di luar negeri. Untuk mengambil aset tersebut membutuhkan mekanisme kerja sama timbal balik dengan negara lain yang diatur dalam UU Perampasan Aset.
“Negara lain hanya akan membantu kita jika kita memiliki regulasi yang jelas dan setara dengan sistem hukum internasional. Tanpa itu, upaya pemulihan aset dari luar negeri akan terus menghadapi jalan buntu,” katanya.
Sementara itu, Ketua Kelompok Analisis Hukum PPATK, Azamul Fadhly Noor menjelaskan RUU Perampasan Aset ini mencakup mekanisme yang dimulai dari penelusuran aset, pembekuan aset, hingga penyitaan aset.
“RUU ini memberikan kerangka hukum yang komprehensif untuk menangani aset-aset hasil kejahatan, baik yang ada di dalam negeri maupun di luar negeri. Hal ini sangat penting karena sering kali pelaku kejahatan melarikan diri, meninggal dunia, atau kondisi lain yang membuat aset mereka sulit disentuh oleh hukum,” ujar Azamul.
Menurutnya, aset hasil kejahatan tidak selalu berupa uang tunai, tetapi bisa dalam bentuk properti, kendaraan mewah, atau bahkan aset tidak lazim seperti benih udang atau hewan peliharaan yang bernilai ekonomi tinggi. Maka dari itu, Azamul menilai pentingnya pengelolaan aset yang juga diatur dalam rancangan undang-undang ini, sehingga nilai ekonomi dari aset yang dirampas tidak mengalami penurunan.
Lebih lanjut, Azamul mencermati perdebatan seputar diksi ‘perampasan aset’ yang dianggap memiliki konotasi negatif dan mengganti dengan ‘pemulihan aset’ atau ‘asset recovery’. Ia mengaku tak mempersoalkan mengenai penggunaan diksi tersebut.
“Meskipun istilah ‘perampasan’ terdengar menyeramkan, substansi dari RUU ini justru sangat positif. Lebih berbahaya jika kita tidak memiliki mekanisme ini karena pelaku kejahatan akan semakin bebas mengamankan hasil kejahatan mereka,” tegasnya.
Adapun RUU Perampasan Aset dirancang untuk memperkuat sistem hukum dalam mendeteksi, membekukan, dan menyita aset hasil tindak pidana, bahkan tanpa bergantung pada keberadaan pelaku. Azamul menjelaskan bahwa RUU ini mencakup mekanisme yang dimulai dari asset tracing (penelusuran aset), asset freezing (pembekuan aset), hingga confiscation (penyitaan aset).
“RUU ini memberikan kerangka hukum yang komprehensif untuk menangani aset-aset hasil kejahatan, baik yang ada di dalam negeri maupun di luar negeri. Hal ini sangat penting karena sering kali pelaku kejahatan melarikan diri, meninggal dunia, atau kondisi lain yang membuat aset mereka sulit disentuh oleh hukum,” ujar Azamul. (Faj/M-4)