IndonesiaDiscover –
AMSTERDAM masih terguncang akibat kerusuhan yang meletus pekan lalu ketika para pendukung sepak bola Israel diserang di pusat kota. Para pejabat kota menggambarkan kekerasan tersebut sebagai “kombinasi beracun antara antisemitisme, hooliganisme, dan kemarahan” atas perang di Gaza, Israel, dan tempat lain di Timur Tengah.
Seiring dengan dibersihkannya jalan-jalan dari stiker Ultras Maccabi dan masih adanya ketegangan, muncul kekhawatiran akan rusaknya hubungan antara komunitas Yahudi dan Muslim di Amsterdam. Ketegangan ini juga merembet ke dalam politik Belanda.
Pemerintah koalisi Belanda telah dibiarkan menggantung setelah seorang menteri junior kelahiran Maroko mengundurkan diri karena bahasa yang digunakan oleh rekan-rekan koalisinya.
Amsterdam telah mengalami protes dan ketegangan akibat perang di Timur Tengah, dan Rabbi setempat, Lody van de Kamp, meyakini bahwa hal fanatisme sepak bola akan membawa masalah.
“Jika Anda menurunkan 2.000 pendukung sepak bola (Israel) ke jalan, anda tahu bahwa anda dalam masalah,” kata Lody melansir BBC, Sabtu (16/11).
Saat para penggemar Maccabi Tel Aviv tiba di kota Amsterdam untuk pertandingan Liga Europa melawan Ajax, dalam rekaman yang dibagikan secara luas pada menunjukkan sekelompok penggemar memanjat tembok untuk merobohkan dan membakar bendera Palestina. Sebuah laporan dewan kota Amsterdam mengatakan bahwa taksi-taksi juga diserang dan dirusak.
Emine Ugur, seorang kolumnis terkenal di komunitas Muslim, mengatakan bahwa ketegangan yang mendasari perang di Gaza membuat kekerasan yang terjadi “akan berlangsung lama”.
Ia berbicara tentang kurangnya pengakuan atas rasa sakit yang dirasakan oleh masyarakat yang terkena dampak konflik yang membuat banyak orang tidak memiliki pelampiasan atas kesedihan dan frustrasi mereka.
Insiden pembakaran bendera serta nyanyian anti-Arab dipandang sebagai provokasi yang disengaja.
Namun kemudian pesan-pesan yang menyerukan pembalasan muncul di media sosial, beberapa menggunakan istilah yang mengerikan seperti “perburuan Yahudi”.
Vandalisme
Pada malam pertandingan, sebuah protes pro-Palestina dipindahkan dari arena Johan Cruyff, namun beberapa jam setelahnya, kekerasan meletus.
Laporan setebal 12 halaman dari pihak berwenang Amsterdam menggambarkan beberapa pendukung Maccabi “melakukan tindakan vandalisme” di pusat kota.
Kemudian menyoroti “kelompok-kelompok kecil perusuh, terlibat dalam aksi tabrak lari dengan kekerasan yang menargetkan para pendukung Israel dan kerumunan” di berbagai lokasi di pusat kota. Mereka bergerak “dengan berjalan kaki, menggunakan skuter, atau mobil, melakukan penyerangan berat”.
Walikota Amsterdam, Femke Halsema, menggambarkan insiden tersebut sebagai sesuatu yang sangat mengkhawatirkan bagi sebagian orang, hal itu mengingatkan kembali pada pogrom historis terhadap orang Yahudi.
Selama beberapa jam, sebagian besar komunitas Yahudi di ibu kota Eropa merasa seolah-olah mereka berada di bawah pengepungan. Peristiwa ini bertepatan dengan peringatan pembantaian Nazi terhadap orang Yahudi pada tahun 1938, yang juga dikenal sebagai Kristallnacht.
Hal itu hanya meningkatkan ketakutan komunitas Yahudi Amsterdam, meskipun imam setempat dan anggota komunitas Muslim lainnya ikut serta dalam peringatan tersebut.
Para anggota senior, termasuk Esther Voet, editor Mingguan Yahudi Belanda, mengorganisasi tempat penampungan darurat dan mengoordinasikan upaya penyelamatan bagi mereka yang takut akan keselamatan mereka.
Keretakan Politik
Pemerintah Belanda telah menanggapi dengan mengalokasikan 4.5 juta euro untuk memerangi antisemitisme dan mendukung para korban.
Menteri Kehakiman Belanda, David van Weel menekankan bahwa orang Yahudi harus merasa aman di negaranya sendiri dan berjanji untuk menindak tegas para pelaku.
Namun, ketua komite pusat Yahudi, Chanan Hertzberger, memperingatkan bahwa langkah-langkah ini saja tidak cukup.
Ia menyalahkan sebagian suasana di mana “retorika antisemit tidak terkendali sejak 7 Oktober”, dan menambahkan: “Sejarah kita mengajarkan bahwa ketika orang mengatakan mereka ingin membunuh Anda, mereka bersungguh-sungguh, dan mereka akan mencobanya.”
Kekerasan dan akibatnya juga telah mengekspos keretakan politik, dan beberapa bahasa dari para politisi telah mengejutkan komunitas Maroko di Belanda.
Geert Wilders, dari Partai Kebebasan sayap kanannya merupakan partai terbesar dari empat partai yang membentuk pemerintahan koalisi Belanda, menyerukan deportasi warga negara ganda yang terbukti melakukan antisemitisme.
Baik ia maupun mitra koalisinya, Caroline van der Plas, antara lain, telah menunjuk orang-orang muda keturunan Maroko atau Afrika Utara.
Seorang komentator Belanda-Maroko, Hassnae Bouazza, mengeluh bahwa komunitasnya selama bertahun-tahun dituduh tidak terintegrasi, dan sekarang terancam dicabut kewarganegaraan Belanda mereka.
Nadia Bouras, seorang sejarawan Belanda keturunan Maroko, mengatakan kepada surat kabar Het Parool di Amsterdam bahwa menggunakan istilah “integrasi” untuk orang-orang yang telah tinggal di Belanda selama empat generasi sama saja dengan “menyandera mereka”.
“Anda menyandera mereka dalam keadaan terus-menerus sebagai orang asing, padahal sebenarnya tidak.”
Menteri Muda Urusan Tunjangan, Nora Achahbar, yang lahir di Maroko namun dibesarkan di Belanda, mengatakan bahwa ia mengundurkan diri dari pemerintahan karena bahasa rasis yang ia dengar dalam rapat kabinet, tiga hari setelah kekerasan di Amsterdam.
Rabbi van de Kamp, melansir BBC, mengatakan bahwa ia khawatir antisemitisme dipolitisasi untuk memajukan agenda-agenda islamofobia.
Ia memperingatkan agar tidak mengulangi sikap eksklusivisme yang mengingatkan kita pada tahun 1930-an, dan memperingatkan bahwa retorika semacam itu tidak hanya membahayakan komunitas Yahudi tetapi juga memperdalam kecurigaan di dalam masyarakat: “Kita harus menunjukkan bahwa kita tidak bisa dijadikan musuh.”
Dampaknya sangat besar bagi penduduk Muslim dan Yahudi di Amsterdam.
Banyak warga Yahudi yang mencopot mezuzah – gulungan kitab Taurat kecil – dari tiang pintu rumah mereka, atau menutupinya dengan lakban karena takut akan pembalasan.
Sementara itu, kaum Muslim berpendapat bahwa mereka disalahkan atas tindakan sebagian kecil minoritas, bahkan sebelum para pelakunya diidentifikasi.
Bart Wallet, seorang profesor studi Yahudi di Universitas Amsterdam, menekankan perlunya terminologi yang hati-hati, dan memperingatkan agar tidak menyamakan kekerasan yang terjadi baru-baru ini dengan pogrom di masa lalu.
Seperti yang lainnya, ia berharap kekerasan tersebut merupakan insiden yang terisolasi dan bukan merupakan tanda memburuknya polarisasi etnis.
Walikota Femke Halsema bersikeras bahwa antisemitisme tidak boleh diikuti oleh bentuk-bentuk rasisme lainnya, dan menekankan bahwa keamanan satu kelompok tidak boleh mengorbankan kelompok lainnya.
Kekerasan telah membuat Amsterdam mempertanyakan identitasnya sebagai kota yang beragam dan toleran. (H-2)