Indeks perdagangan berkelanjutan Indonesia tertinggal jauh di Kawasan Asia Tenggara. Itu merujuk Hinrich-IMD Sustainable Trade Index/STI 2024. Di level Asia Tenggara, Indonesia berada di urutan enam dengan skor 45,3.
Indonesia berada di bawah Singapura yang memiliki skor 85,7, Thailand dengan skor 55,4, Filipina dengan skor 54,8, Vietnam dengan skor 54,1, dan Malaysia dengan skor 52,7. Tercatat di level Asia Tenggara Indonesia hanya unggul dari Laos, Brunei Darussalam, dan Myanmar.
Sementara dalam skala global, Indonesia berada di urutan 18, mengungguli India di posisi 24 dan Rusia di posisi 30. Sementara lima negara di peringkat atas, yaitu, Selandia Baru, Inggris, Australia, Singapura, dan Jepang.
Chief Economist of the IMD World Competitiveness Center Christos Cabolis mengatakan, secara umum pertumbuhan perdagangan global akan kembali melesat di 2024. “Untuk itu pengukuran indeks perdagangan ini kami lakukan, sebab perdagangan merupakan salah satu faktor penting pendorong daya saing ekonomi yang berkelanjutan di suatu negara,” ujarnya yang juga memimpin riset tersebut, Selasa (22/10).
CEO Hinrich Foundation Kathryn Dioth mengatakan, STI merupakan penelitian yang mengukur apakah perdagangan ekonomi suatu negara sudah mampu menyeimbangkan tiga pilar keberlanjutan: pertumbuhan ekonomi, kemajuan sosial, dan pengelolaan lingkungan.
“Indeks menunjukkan beberapa negara telah berhasil melakukan perdagangan berkelanjutan; mendorong nilai perdagangan, tapi sambil tetap membangun ketahanan lingkungan mereka,” jelasnya.
Skor yang menjadi penentu peringkat pada Hinrich-IMD STI 2024 diukur berdasarkan 72 poin data yang dibagi menjadi tiga kategori utama, yakni, ekonomi, sosial, dan lingkungan. Laporan itu memberikan paparan sejumlah perbaikan yang perlu dilakukan Indonesia di sejumlah sektor tersebut untuk memperbaiki skor perdagangan berkelanjutan.
Indikator ekonomi menunjukkan seberapa efektif strategi suatu negara bisa untuk memanfaatkan kesempatan perdagangan global. Dari sektor ekonomi, tiga hal yang harus mendapat perhatian adalah soal inovasi teknologi yang menempati skor terendah (5,27) diikuti oleh nilai ekspor barang dan jasa (skor 7,02) dan kredit domestik untuk sektor swasta (berdasarkan persentase Produk Domestik Bruto/ PDB) dengan skor 10,19.
Negara dengan infrastruktur teknologi yang kuat, kebijakan perdagangan yang efisien, termasuk kebijakan tarif yang kompetitif cenderung meningkatkan daya saing perdagangan dan menarik investasi asing. Hong Kong, Amerika Serikat, Korea Selatan, Tiongkok, dan Inggris unggul di sektor ini.
Faktor sosial mengukur dukungan pengembangan sumber daya manusia untuk mendorong daya saing keberlanjutan. Di sektor sosial, rapor merah Indonesia ada pada angka harapan hidup saat lahir yang ada di skor 12,15 dengan umur rata-rata 68,3 tahun. Faktor lain yang perlu mendapat perhatian adalah soal stabilitas politik (skor 28) dan pencapaian pendidikan (skor 26,27).
Pendidikan menjadi salah satu poin penting di sektor sosial, karena menjadi bekal keahlian dan fleksibilitas tenaga kerja untuk menghadapi tantangan ekonomi dan sigap mengambil kesempatan.
Negara-negara seperti Selandia Baru, Kanada, Australia, Taiwan, dan Singapura menjadi contoh terbaik pengembangan infrastruktur sosial yang tangguh guna mendukung daya saing perdagangan jangka panjang.
Sementara faktor lingkungan mengevaluasi apakah suatu negara sudah mengelola sumber daya alam dan mengurangi dampak lingkungan dari kegiatan ekonominya, khususnya terkait perdagangan global. Untuk sektor ini, Indonesia perlu melakukan perbaikan pengelolaan air limbah (skor 23,27), pengembangan energi terbarukan (skor 26,4), dan perbaikan deforestasi (28,54).
Selandia Baru, Inggris, Filipina, Meksiko, dan Australia berhasil menjadi negara dengan skor tinggi di sektor ini. Mereka memiliki kebijakan dan komitmen lingkungan yang lebih tegas dibanding negara lain. (Z-11)