PRESIDIUM Forum Negarawan Yudhie Haryono mengungkapkan negara Pancasila adalah konsensus bersama. Negara yang secara penuh merealisasikan nilai-nilai periketuhanan, perikemanusiaan, perikesatuan, perikegotong-royongan, dan perikeadilan sosial.
“Dus, secara ideal, kita tak punya komunisme, asosialisme, amoralisme, mayorokrasi-minirokrasi, dan neoliberalisme,” terangnya dalam keterangan tertulis.
Kendati demikian, menurutnya, banyak di antara para ekonom, politisi, dan pengusaha yang mengatakan bahwa neoliberalisme sebagai jawaban dari segala hal. Hal itu dinilai tidak tepat. Sebab faktanya, keadaan makin jauh dari klaim dan teori tersebut.
Baca juga : Oligarki Adalah, Pengertian, Tipe, Ciri, dan Contoh
Menurutnya, kejahatan terbesar sebuah rezim bukan pada seberapa besar harta rampokan dan seberapa hancur negara ini olehnya, melainkan mewariskan tradisi perampokan ke generasi berikutnya. Oleh sebab itu, Yudhie menekankan pentingnya kerja merumuskan dan membukukan Pancasila di wilayah praksis.
“Ini projek menambal ruang kosong. Terutama sejak reformasi. Ya. Sejak reformasi, tafsir pancasila berhenti. Limbo: yang lama sekarat, yang baru tak menguat,” sebutnya.
Akhirnya, bangunan ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, dan pertahanan keamanan (ipoleksosbudhankam) kini dan ke masa depan menjadi tak menentu.
Baca juga : SKK Migas Berkomitmen Beri Kontribusi pada Pembangunan Ekonomi dan Sosial
“Tak menampilkan kejelasan visi, peta jalan, dan haluan yang adekuat. Tak menghadirkan kesentosaan. Menjauhkan kesejahteraan. Mengalpakan perlindungan, kecerdasan dan ketertiban,” tegasnya.
Padahal, pengertian demokrasi Pancasila sudah sangat baik disampaikan Presiden Soeharto pada 16 Juni 1967 yang berpandangan bahwa demokrasi Pancasila berarti demokrasi kedaulatan rakyat yang dijiwai dan diintegrasikan dengan sila-sila lainnya. Hal ini berarti bahwa dalam menggunakan hak-hak demokrasi harus selalu disertai dengan rasa tanggung jawab kepada Tuhan Yang Maha Esa menurut keyakinan agama masing-masing, harus menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, harus menjamin dan mempersatukan bangsa dan harus dimanfaatkan untuk mewujudkan keadilan sosial. Pancasila berpangkal tolak dari paham kekeluargaan dan gotong royong.
Selain itu, proklamator Mohammad Hatta juga sudah menyampaikan bahwa ekonomi pancasila itu memiliki tiga sumber, yaitu Islam, Sosialisme dan budaya Indonesia.
Baca juga : Rakernas Hasilkan 17 Rumusan Sikap Politik, PDIP Juga Minta Maaf
“Dus, ekonomi Pancasila dirumuskan sebagai ekonomi yang mendasarkan diri pada nilai-nilai Pancasila yang campuran serta hibrida: dari, untuk, dan oleh semua rakyat,” terusnya.
Karenanya, ekonomi Pancasila, menghendaki tiga tahap pembahasan. Pertama, pembahasan ontologis, yang menjawab pondasi. Kedua, pembahasan epistemologis yang menjawab pertanyaan bagaimana memahaminya dan bagaimana cara kerjanya. Ketiga, pembahasan aksiologis yang mempertanyakan hasil atau kondisi ideal yang dihasilkan oleh proses pembentukannya.
“Jelas bukan konglomerasi. Apalagi oligarki. Tapi kok kini tiap hari kita disuguhi pola dan sistem jahat, rakus dan berlipat? Kemiskinan dan ketimpangan jadi takdir. Tanpa malu mereka memasifikasi harta dan mengintensifkan kapital. Aneh bukan?” sambungnya.
Ia menekakan untuk memperkuat 5 logika pancasila yaitu rekonstitusi, rekapitalisasi, nasionalisasi, refinansialisasi, dan resoverenitas.
“Inilah cara kita menjadi patriot Pancasila: menegakkan daulat warga dan negara,” pungkasnya. (M-4)